Tuesday, December 11, 2012

Didamprat 'Kampret!'


Ada kejadian aneh sepulang saya dari kampus hari ini. Berawal dari enam mahasisa (termasuk saya) yang baru saja menyudahi makan pagi di cafeteria UB memutuskan untuk berpisah (bukan dalam arti sebenarnya). Empat teman mahasisa saya, salah satunya bernama Mawar (nama disamarkan) kemudian pergi jalan-jalan ke Matos. Sedang saya dan salah seorang teman mahasisa saya yang tersisa, sebut saja Cahya (bukan nama sebenarnya) menyamar jadi mahasiswa. Yah, hari itu kami berdua menolak ajakan teman-teman jalan-jalan ke Matos untuk bertandang ke Perpustakaan. Catat sekali lagi; Perpustakaan.

Kalau bukan karena deadline tugas yang semakin mepet sebenarnya saya sih malas ke Perpus. Tapi ya sudahlah. Sekali lagi anggap saja ini adalah bagian dari kodrat hidup yang harus saya jalani. Puk-puk. Lagipula saya percaya bahwa selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Dan ternyata benar. Kurang dari sepuluh menit kami di perpustakaan, berlagak jadi mahasiswa, teman saya mengeluh perutnya mulas. Pikir sendiri kenapa. Beberapa menit selanjutnya kami menuju pintu keluar, lurus ke area parkir, ambil motor, pulang.

“.......”

Dari fakultas saya menuju ke tempat kos, kami harus ambil jalan memutar mengelilingi lapangan rektorat lalu melewati fakultas hukum. Stop. Kita pause dulu ceritanya sampai disini. Sebelum saya melanjutkan, saya mau menceritakan teman mahasisa saya dulu yang bernama Mawar. Tenang saja teman saya yang satu ini tidak ada hubungannya dengan Marwan. Tahu Indra Widjaya? Anak hukum UB yang gagal masuk babak spektakuler Indonesian Idol 2012 yang kemudian jadi penulis dadakan dengan bukunya yang berjudul ‘Idol Gagal’? Coba searching di google atau buka blognya di sini untuk keterangan lebih lengkap. Tapi apa hubungannya dengan Mawar? Nah, si Mawar ini ngefans banget sama si Indra Widjaya. Saya sebenarnya juga sih. Tapi saya lebih tertarik dengan kisah hidup yang dia tulis dalam bukunya. Inspiring kalau saya bilang. Lebih ngegemesin daripada rambut kribonya. Saya juga sering mengalami bermacam-macam bentuk kegagalan, tapi bukan berarti saya harus berhenti. Ini kenapa saya jadi cerita tentang diri saya sendiri?

Oke, cukup. Balik ke cerita awal. Dalam perjalan pulang yang panjang dan berliku-liku melewati lapangan rektorat itu, saya dan Cahya kemudian melaju melewati fakultas hukum. Di antara deretan mobil-mobil yang di parkir didepan fakultas, saya secara tidak sengaja melihat sesosok makhluk kribo tiba-tiba nyempil disana. Benar saja dugaan saya kalau itu Indra Widjaya si ahli gagal yang belakangan sering digembar-gemborkan. Jangan salahkan saya atau mata saya. Bukan salah mata saya melihat. Salahkan rambut kribonya yang mecolok itu.

Saya jadi langsung kepikiran teman mahasisa saya, Mawar. Dengan sigap saya mulai menekan tuts hp dan mengirimkan sms yang kira-kira isinya begini:

“SAYA KETEMU INDRA WIDJAYA DEPAN FAKULTAS HUKUM!! GANTENG BEH!! LEBIH GANTENG ASLINYA DARIPADA YANG ADA DI FOTO!! HIDUNG SAMA RAMBUT KRIBONYA NYOLOT ABIS!!”
(Sengaja saya bikin heboh dengan mengetik huruf kapital dan tanda seru dimana-mana)

Tidak lama Hp saya bunyi. Sms dari Mawar:

“KAMPRET LU, NDAH! L Ngapain ke fakultas hukum segala sih kamu?”
(Belum apa-apa saya sudah didamprat kampret)

Saya pun kemudian mengirim sms balasan:

“Cahya kebelet boker. Dia ngajakin cepet-cepet pulang tadi. Kita lewat depan fakultas hukum. Kemudian saya lihat cowok kribo, nggak tinggi-tinggi banget pakai kaos item. Saya bilang sama Cahya kalau itu Indra Widjaya. Padahal sebenernya saya Cuma asal ngomong. Abis saya ngelihatnya dari belakang sih. Cuma bisa lihat punggungnya doang. Eh, pas motor Cahya jalan ngelewatin itu anak, saya ngelirik lagi. EH, LAH KOK BENERAN INDRA WIDJAYA. Saya Cuma melongo beberapa detik. Maunya sih ngajakin Cahya berhenti dulu. Siapa tau bisa dapat foto. Tapi nggak jadi, kasihan muka Cahya udah keringetan nahan e’ek yang udah mau keluar.”

Dalam hati saya cekikikan membayangan Mawar teriak kampret berkali-kali. “HAHAHA Makan itu kampret!”.

Mawar, maafin Indah, ya? :’)

Beginilah kodrat yang harus saya jalani...



Menurut teori Indra Widjaya, si ahli gagal dalam bukunya berjudul 'Idol Gagal', kelompok anak kuliahan dibagi menjadi dua jenis; Mahasiswa dan Mahasisa. Saya pun mutlak, otomatis, tidak diragukan, dan tanpa pertimbangan apapun akan langsung digolongkan dalam kelompok yang kedua; Mahasisa. Pffftttt~

Ketika berada didalam kelas, duduk, absen, kedip-kedip, bengong, melirik jam sambil menguap sesekali adalah rutinitas harian saya selama ada di kampus. Sudah tidak ada hal lain lagi yang saya lakukan dalam kelas selain seperti apa yang saya sebutkan di atas. Maklumi saja, menjadi Mahasisa juga merupakan kodrat yang harus saya jalani.

Tetapi segala sesuatunya berubah sejak dia datang dalam hidup saya. Memenuhi kepala saya yang sudah kelamaan kosong karena kebanyakan bengong. Sebenarnya siapa dia? Baiklah, sebut saja Bunga. Ah, tidak. Jangan. Nama Bunga tidak cocok untuknya. Sebenarnya saya tidak tahu namanya. Entah saya benar-benar tidak tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu, hanya Tuhan dan saya yang tahu. Biar itu jadi urusan antara saya dan Tuhan. Yang lain minggir teruskan membaca dengan tenang dan penuh penghayatan.

Kami baru bertemu saat kami sama-sama ada di semester tujuh. Dari delapan mata kuliah yang saya ambil di semester ini, lima diantaranya, kami mengambil kelas yang sama. Saya jadi terbiasa bertemu dengan dia sampai tidak sadar kalau saya sering memperhatikan dia dari jauh. Saya juga baru sadar kalau rambutnya yang berjambul itu mirip Matt Damon. Memang sejak kapan Matt Damon berjambul? Entahlah, yang jelas saya suka menyebut dia mirip Matt Damon daripada Elvis Presley.

Karena penyakit kanker malu saya yang lumayan kronis kambuh lagi, saya hanya bisa pasrah memandangi dan mengagumi jambulnya dari jauh. Sungguh ironis. Terlebih saat salah seorang teman saya dengan terang-terangan berani mengakui bahwa ia juga menyukai Matt Damon nya. Saya terharu terpukul sekali mendengarnya. Bagaimana mungkin? Ternyata selama ini kami menyukai orang yang sama. Seperti cerita dalam sinetron ya? Tapi tidak! Cerita saya bukan cerita sinetron. Kalaupun mau dijadikan ide cerita sebuah sinetron saya menuntut harga yang setimpal. Bagaimanapun cerita ini adalah curahan hati saya yang sudah tercarut-marut seperti bekas dipatut berkali-kali meninggalkan bekas luka dengan lubang disana-sini. Pedih.

Runtutan peristiwa berikutnya yang saya ingat adalah saya tetinggal 5 cm langkah dibelakang teman saya. Saya tidak tahu bagaimana dia bisa begitu percaya diri memperkenalkan dirinya, kemudian berbincang dengannya, sedikit menggodanya, meminta di follow back, dan ujung-ujungnya mereka bertukar nomor Hp. Pedih.

Backsound: Gugur Bunga Yovie Nuno – Galau

Semenjak itu saya jadi lebih banyak meluangkan waktu untuk mencoba bunuh diri duduk di depan laptop. Menuliskan segala apa saja isi yang ada di dalam kepala saya. Untuk ukuran kepala normal, saya rasa kepala saya sudah kelebihan muatan. Dan untuk pertama kalinya saya merindukan kekosongan dan kelegaan ruangan dalam kepala saya. Saya tidak lagi merisaukan soal Matt Damon hal-hal itu sekarang. Bukan salah siapa-siapa kalau Matt Damon dia lebih memilih untuk akrab dengan teman saya. Memang saya saja yang terlalu pasif dan tidak punya inisiatif. Tapi tetap saja, saya tetap akan menganggap hal itu sebagai kodrat yang telah digariskan Tuhan untuk saya jalani. Lagipula kalau tidak begini, saya mana punya cerita untuk dibagikan kepada kalian? :)

Backsound: Homogenic – Get Up and Go!

Friday, December 7, 2012

Membunuh Matahari




Aku mulai menyukai dia, Matahari.

Bukan karena kecermelangan cahayanya. Justru cahayanya yang berpendar itu seringkali menyakiti mataku. Membuatku harus memicingkan sebelah mata tiap kali ingin menatapnya. Namun aku menikmati setiap prosesnya. Proses yang kusebut 'mencintai'. Dan, ya, aku mulai jatuh cinta pada Matahari, hingga muncul seorang yang lain diantara kami; Pagi.

Sudah jadi kodrat masing-masing bahwa Pagi selalu datang lebih dulu. Dia bertugas mengawali hari dan menjemput Matahari. Seperti jodoh yang ditakdirkan, begitulah kisah Matahari dan Pagi dimulai. Kemudian mereka pun saling jatuh cinta.

Aku yang merasa dicampakkan oleh Matahari merasa tidak pernah lebih buruk dari ini. Bermodal sebentuk keyakinan berkelap-kelip; dengan catatan sebentar nyala sebentar mati, dengan sabar aku menunggu Matahari kembali pulang denganku. Dia sudah cukup jauh tersesat kukira.

Satu jam, tiga jam, tujuh jam aku masih menunggu dengan sabar. Dan dengan sisa-sisa kesabaran yang kupunya, aku merasa Matahari sudah pergi sedemikian tinggi.

Hingga sampailah aku di ujung hari. Cahayanya yang berpendar itu kini tidak lagi bisa kurasakan menerpa wajahku. Kurasakan pipiku mulai basah. Bukan, bukan karena menangis. Barangkali kesabaranku telah melampaui batas hingga aku tidak lagi ingin menangis. Tampaknya hujan mulai turun.

Diantara curah rintik hujan aku menatap langit. Tidak kulihat ada Matahari disana. Langit pun berubah kelabu. Lagipula sekarang bukan lagi Pagi hari. Pagi sudah pergi. Jadi kemana Pagi pergi? Apakan Pagi membawa pergi Matahari? Lalu kemana mereka pergi?

Segala pertanyaan bermunculan meracuni hati dan pikiranku. Membuatku mengutuk diri sendiri yang tidak terlahir sebagai Pagi yang dicintai Matahari. Membuatku diam-diam ingin membunuh Matahari. Membuat tidak seorangpun dari kami, aku atau Pagi yang akan memiliki Matahari.

Dengan sebilah pisau tergenggam di tangan dan diantara titik-titik kecil hujan, kususuri setiap jalan mengikuti jejak-jejak Matahari. Hati dan pikiranku sudah diselimuti oleh kabut. Membuatnya tidak lagi benar-benar jernih. Pun gemuruh amarah dalam diri sudah tidak dapat reda terhapus hujan sehari.

Kebencian telak menguasaiku.

Hari itu berkabut. Langit masih tertutup awan mendung. Matahari pasti bersembunyi di balik gumpalan awan-awan kelabu. Aku kemudian mempercepat langkahku. Kutebas satu persatu awan yang menghalangi dengan sebilah pisau yang kugenggam. Bagaimanapun akan kutemukan Matahari. Hidupnya harus berakhir di tanganku.

Tidak butuh waktu lama. Cahayanya yang berpendar itu samar-samar mulai terlihat menembus celah-celah awan yang tertebas olehku. Terendap-endah aku mengintip melalui celah-celah kecil yang ada disana. Memastikan bahwa itu benar cahaya Matahari.

Seperti ditikam dengan ujung kilatan ekor-ekor petir, aku melihat Matahari dan Pagi sedang bercumbu. Hatiku nanar bukan main. Hanya dengan sekali tebas kuakhiri hidup sang Matahari. Darahnya mengucur begitu derasnya. Membasahi hampir seluruh tubuhku. Pagi yang ketakutan menatapku dengan pandangan tak percaya. Matanya mengiba memohon belas kasih. Memohon agar tidak dibunuh juga. Lalu kubiarkan dia pergi. Kubiarkan dia menderita hidup tanpa Matahari.

Darahnya yang sedemikian banyak itu membuat langit berubah kemerahan. Awan-awan hitam sudah pergi. Kini hariku telah tiba. Kodratku sebagai sore telah kujalani. Telah kutenggelamkan Matahari. Mengantarnya sampai akhir. Membiarkan sisa-sisa jasadnya lenyap ditelan Malam.

Thursday, November 22, 2012

Mimpi tentang Hujan



Aku tanya, pernahkah kamu memimpikan seseorang yang tidak kamu kenal? Berhari-hari? Apakah itu normal? Aku pernah. Aku ingat setiap kepingan mimpi-mimpinya. Tertata rapi, runtun membentuk suatu rangkaian alur cerita.

***

Sebut saja hujan. Aku ingat pernah bertemu sekali dengannya di masa lalu. Hanya bertemu. Tidak pernah kami berbincang sebelumnya. Hanya sesekali bertemu pandang.

Kemudian, lama aku tidak bertemu hujan. Tentu aku sudah lupa sekarang. Tidak pernah sekalipun aku memikirkannya. Bah, siapa yang perduli tentang hujan? Toh, kami tidak saling kenal.

Hidupku dipenuhi apapun selain hujan sejak itu. Sebut saja Kemarau, Semi, Gugur, Dingin dan Salju adalah sahabat-sahabatku. Mengisi hari-hariku, menemani sepi-sepiku. Memenuhi pikiranku.

Hingga hujan kembali. Bau hujan membuatku ngantuk. Aku terlelap dan aku merasa aneh. Aku memaksa terjaga. Rupanya aku mimpi. Mimpi tentang hujan.

***

Mimpi di hari pertama; aku ingat saat itu sore hari. Bersama sahabat-sahabatku, Kemarau, Semi, Gugur, Dingin dan Salju, aku sedang bermain. Lalu aku melihat seseorang dari kejauhan. Dia hanya muncul begitu saja. Tidak menjauh, tidak juga mendekat. “Hujan...”, bisikku.

***

Mimpi di hari kedua; aku ingat saat itu sore hari. Aku berjalan di atas tanah penuh genangan air. Becek dimana-mana. Seseorang membimbingku. Menggenggam tanganku. Namun, aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia berjalan memunggungiku. Tunggu, sepertinya aku tahu siapa. “Ini, bau hujan...”, bisikku.

***

Mimpi di hari ketiga; aku ingat saat itu masih sore hari. Aku berjalan di tengah keramaian. Aku berjalan berlawanan arah seorang diri. Tidak tahu hendak kemana. Lalu aku melihat buket-buket bunga mawar terpampang di ujung jalan sana. Ketika ku dekati, aku ingin mengambil setangkai. Namun, tak satupun dapat ku ambil tangkai dengan kelopak yang utuh.
Aku hampir putus asa saat seseorang datang membawa setangkai bunga mawar kuning. Hmm...kuhirup nafas dalam-dalam. “Bau ini...”. Bukan, bukan bau wangi bunga mawar. Tapi ini adalah... “Bau...Hujan!”
Dan mawar kuning itu dia berikan padaku, “Untukkmu.”

***

Mimpi di hari keempat; aku ingat saat itu masih sore hari. Dan aku masih menggenggam mawar kuning-ku. Kami duduk berdampingan memandang langit. Tiba-tiba dia mengulurkan tangan, “Kita belum pernah kenalan. Sebut saja aku, Hujan.”
Aku menyambut tangannya malu-malu, “Aku...sebut saja aku sore.”
Dia lantas tersenyum. Senyumnya untukku.

***

Mimpi di hari kelima: aku ingat saat itu tetap sore hari. Kami berjalan bergandengan tangan. Hujan membawaku ke sebuah tempat. Tempat dimana mendung, petir dan pelangi berkumpul. Tempat yang dia sebut rumah.
“Kelak jika kau mencariku, kau akan menemukanku disini. Aku tidak akan kemana-mana.” Begitu ucapnya padaku. Dia lantas tersenyum. Senyumnya untukku.

***

Mimpi di hari keenam: aku ingat saat itu langit sudah hampir petang. Sudah tidak ada tempat lagi bagi sore jika malam sudah datang menggantikan. Tapi aku sore yang nakal ingin bertemu Hujan walau petang sudah datang. Malam yang geram berlari mengejar dan hendak menangkapku. Seperti biasa dia akan mengadukanku pada ibu.
Aku berlari dan berlari. Berharap akan menemukan jalan menuju rumah Hujan. Tapi aku tersesat. Tidak tahu berada dimana. Sementara Malam semakin dekat. Aku bersembunyi dibalik gunung. Aku menangis disana. Berharap Malam tidak akan menemukanku. Berharap Hujan akan menemukanku.

***

Pada hari ketujuh, kedelapan, kesembilan dan seterusnya aku berhenti memimpikan Hujan.

***

Bermimpi memang mudah. Hanya perlu memejamkan mata untuk sampai kesana. Namun, akan menjadi sulit jika disanalah satu-satunya Ruang Temu bagiku untuk bertemu.

~Fin~
Dari Sore untuk Hujan

Sunday, November 18, 2012

Terima Kasih, Ayah




Entah apakah memang ada konspirasi atau hanya sekedar kebetulan untuk membujuk saya kembali. Saya mendapat tugas prakarya dari sekolah untuk membuat lukisan. Kami diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk menentukan tema atas lukisan apa yang akan kami buat. Saya menatap kosong kanvas didepan saya. Persis seperti kejadian sebelas tahun lalu. Tiba-tiba saja saya merasa gugup. Saya menggenggam erat-erat kuasnya. Tidak tahu akan melukis apa. Lagi-lagi saya merasa kosong. Bedanya sekarang saya tidak punya apapun untuk menutupi kekosongannya. Tanpa ada pertimbangan apa-apa, saya melirik ke arah lukisan Bali yang terpampang di salah satu sisi dinding ruang tamu kami. Seperti seseorang yang kesetanan saya pun menyambar kuas dan mulai melukis.

Lukisan saya belum kering saat ayah dan salah seorang kakak saya pulang, entah darimana. Tanpa menunjukkan ekspresi terkejut, ayah hanya tersenyum memandangi lukisan yang baru saya buat.

“Apa ini? Kebakaran?”, komentar kakak saya.

Saya ikut memandanginya, setuju bahwa dari jauh memang tidak tampak seperti langit pagi tapi lebih terlihat seperti langit yang terbakar. Sungguh lukisan yang buruk. Saya pun pergi.

Saya bangun dengan malas keesokan harinya. Hari dimana lukisan itu harus dibawa dan dikumpulkan. Setelah mandi dan berganti baju, tanpa berniat sarapan, saya mulai mencari-cari kanvas lukisan saya.  Tetap masih dengan perasaan malas, saya menemukannya di teras depan. Seseorang telah memindahkannya. Baru saja saya mau mengambilnya, saya sudah dibuat heran oleh perubahan yang ada pada lukisan saya; langitnya.

Iya, langitnya. Walaupun tidak seindah lukisan aslinya, tapi langitnya sudah jauh lebih baik daripada langit yang kemarin saya buat. Tidak tampak seperti langit yang terbakar lagi. Saya tersenyum, kali ini tidak dengan perasaan malas. Terima kasih, Ayah.

Ingin Kembali




Beranjak remaja, keluarga saya kemudian memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar. Memang, rumah yang kami tempati saat itu cukup kecil dengan bentuknya yang memanjang. Hanya ada 2 kamar tidur untuk lima anggota keluarga kami. Kedua kakak saya cukup dewasa. Mereka sudah lulus kuliah. Mereka bukan lagi anak-anak yang bisa dibujuk untuk saling berbagi kamar.

“Masing-masing butuh privasi”, begitu yang mereka bilang.

Saya sendiri tidur di kamar yang tidak cukup besar bertiga dengan kedua orang tua saya. Saya pun juga akan punya kamar sendiri setelah pindah nanti, tapi itu berarti saya harus meninggalkan koleksi buku-buku cerita saya. Terlalu banyak ibu bilang. Sebagian besar buku-buku itu sudah diberikan pada anak-anak sekitar rumah yang punya minat baca besar seperti saya dulu. Lagipula saya bukan anak-anak lagi. Sudah terlalu tua bagi saya untuk membaca kisah-kisah seperti itu lagi.

Berada di tempat baru membuat saya harus memulai dari awal lagi. Saya seperti anak perempuan sebelas tahun lalu. Masih malu-malu. Terlebih saya baru masuk SMA. Saat itu saya duduk di ruang tamu rumah baru saya. Rumah besar dengan empat kamar. Cukup untuk seluruh anggota keluarga saya. Saya memilih duduk di ruang tamu karena tidak terlalu kenal dengan kamar tidur saya yang baru. Hanya ada ranjang, meja belajar dan lemari pakaian disana. Tanpa rak buku, poster-poster di dinding atau bahkan boneka. Cat temboknya masih putih, bersih. Saya lama duduk disana sampai seseorang datang membawa sesuatu yang saya tangkap adalah sebuah lukisan.

Yap, lukisan dari Bali yang bercerita tentang kegiatan masyarakat Bali bersetting pasar dengan langit pagi dan matahari terbit yang indah. Saya melongo. Ayah saya berlarian kecil ke depan pintu. Air mukanya berubah senang. Ayah saya memang mencintai lukisan. Biarpun tidak ahli dan tidak tahu betul tehnik-tehnik melukis, ayah menjadikannya sebuah hobi. Mungkin dari sanalah kecintaan saya pada menggambar berasal. Tapi saya sudah lama berhenti. Saat masuk Sekolah Dasar saya ingat ayah memanggil seorang guru privat menggambar agar saya mau kembali. Ujung-ujungnya, saya ngambek dan kabur. Bersembunyi di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah nenek saya. Saya menangis disana.

Tbc...

Evolution




Sejak kecil saya memang pemalu. Terlalu pemalu untuk disebut sebagai pemalu. Apalagi saya sudah berhenti menggambar. Saya merasa kosong. Selain dongeng yang diceritakan nenek, saya sudah tidak punya apa-apa lagi. Nenek mulai kehabisan kisah-kisah dongengnya. Saya jadi sebal sendiri. Saya mulai mencari sesuatu yang lain untuk menutupi kekosongan saya. Dari sanalah saya berjodoh dengan yang namanya buku.

Buku pertama yang saya lihat adalah buku bergambar. Gambarnya lucu-lucu. Saya menyukainya. Karena belum bisa membaca, saya mulai berkhayal. Saya merangkai-rangkai sendiri ceritanya menurut versi saya; menurut apa yang saya sukai. Hingga saya sampai di titik dimana saya lelah merangkai dan menerka-nerka cerita di balik gambar-gambar yang saya lihat. Sayapun merajuk untuk diajari membaca. Hal ini kemudian membuat saya menjadi satu-satunya anak yang paling lancar membaca di kelas (saat itu saya masih TK).

Saya mulai jatuh cinta pada buku. Namun kegilaan saya pada buku hanya terbatas pada buku cerita dan dongeng. Saya tidak mau membaca yang lain lagi. Orang tua saya mulai membelikan saya buku setiap minggu. Rak-rak dan lemari penuh koleksi buku cerita dan dongeng belum cukup memuaskan saya. Semua sudah habis dibaca. Bahkan ada beberapa yang sudah tiga sampai lima kali dibaca.

Orang tua saya adalah guru Sekolah Dasar. Masih karena penyakit malu saya, saya bersekolah di tempat ibu mengajar. Hanya saja penyakit malu saya sudah tidak sekronis dulu. Menjadi anak salah seorang guru disana membuat saya jadi sedikit ditakuti oleh teman-teman sebaya saya. Saya jadi suka seenaknya sendiri. Saya suka mengancam akan mengadukan pada ibu terhadap siapa saja anak yang melawan. Percayalah selama tiga tahun belakangan dari putri malu saya berubah jadi anak serigala kurang ajar. Hanya saja ibu tidak tahu.

Masih tentang kecintaan saya pada buku cerita dan dongeng. Kekurang-ajaran saya tidak hanya terbatas sampai disana. Sesekali saya pergi ke perpustakaan sekolah. Mencari buku-buku cerita baru, mengambilnya, menyembunyikannya, lalu membawanya pulang untuk kemudian dibaca di kamar sambil menghisap permen. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu.

Tbc...

Saat Kecil




Saya dilahirkan sebagai satu-satunya anak perempuan terkecil dalam keluarga. Kenyataan bahwa saya terlahir selisih sepuluh tahun dari kakak kedua saya membuat saya selalu bersembunyi di bawah ketiak kedua orang tua dan kedua kakak laki-laki saya.

Sejak kecil saya banyak sakit. Saya hampir setiap hari keluar masuk rumah sakit. Namun diluar penyakit-penyakit itu, satu yang membuat orang tua saya khawatir; saya menderita penyakit malu stadium empat. Ketidakpercayaan diri saya mengalahkan saya dalam banyak hal. Saya bahkan menolak berbicara pada orang yang tidak saya kenal. Hingga saya ingat bertemu dengan seorang wanita di rumah sakit pagi itu.

Kami duduk berhadapan dipisahkan meja kayu dengan banyak boneka dan mainan di dekat jendela. Saya melihat sekeliling. Ada banyak rak berisi boneka dan mainan disana, tapi saya tidak merasa senang. Saya mulai menggenggam erat tangan ibu disebelah saya. Saat itu saya masih belum genap 5 tahun. Saya tidak banyak ingat tentang apa-apa yang wanita itu tanyakan pada saya. Yang saya ingat saya tidak menjawab satu pertanyaan pun.

Sepanjang pembicaraan itu saya hanya menggambar dan terus menggambar gambar yang sama; seorang perempuan cantik berambut panjang dengan mahkota yang gemerlapan dan tentu saja, bergaun indah. Barangkali benar itu adalah gambar seorang Putri Raja dalam dunia dongeng. Sejak kecil saya memang banyak mendengar cerita dongeng dari almarhumah nenek saya. Dari sanalah saya mulai mencintai dongeng dan diam-diam mulai menggambar tokoh wanita utamanya. Kenapa hanya tokoh wanita? Saya juga tidak tahu.

      Wanita itu kemudian mulai sering mengunjungi saya dirumah. Masih tetap menggambar dan tidak berbicara, dia mulai melihat gambar-gambar yang saya buat. Dia lantas meminta saya membuatkannya sebuah. Dia bilang dia menyukai gambar-gambar saya. Saya tidak menolak, saya memang suka menggambar. Saya bahkan mewarnainya. Pelan-pelan saya mulai menyukai wanita itu.

Tapi itu tidak lama.

Suatu ketika saya mendengar wanita itu mulai membujuk ibu saya untuk mendaftarkan nama saya pada sebuah perlombaan menggambar. Hari perlombaan tiba. Saya duduk disana. Sendiri. Saya celingukan mencari-cari dimana ibu saya. Kertas di depan saya masih kosong. Pensil-pensil warna juga diam tak tersentuh. Saya mulai menangis. Saya mau ibu saya. Saya mau pulang dan saya berhenti menggambar.

To be continues...

Saturday, November 10, 2012

Sapa sore



Ada perbedaan antara pagi dan sore hari, tentang alasan kenapa keduanya diciptakan.

Dan mengapa saya menyukai sore hari?

Dia memang bukan yang pertama karena selalu ada pagi yang mendahului.

Tapi sore adalah yang terakhir mengiri kepergian Matahari.

Dan Tuhan menciptakan sore hari agar kamu dapat mengikhlaskan apa-apa yang bukan milikmu terbenam bersama Matahari.

Saturday, October 20, 2012

Sinopsis "The Metamorphosis" oleh Franz Kafka

Tidak seperti kisah Rico de Coro dalam Filosofi Kopi karya Dee (Dewi Lestari), dalam buku Dee itu dikisahkan Rico de Coro memang benar-benar seekor kecoa yang hidup di kerajaan Ayahnya dan jatuh cinta pada seorang gadis manusia bernama Sarah. Disini Rico de Coro rela mati demi Sarah yang saat itu ketakutan melihat kecoa percobaan yang lebih menyeramkan daripada Rico. Didalamnya digambarkan pula bagaimana perasaan Ayah Rico yang juga adalah seorang Raja sangat kehilangan satu-satunya pewaris tahtanya. Padahal bisa dibilang setiap hari dia mewanti-wanti Rico untuk berhati-hati.
Sedangkan dalam The Metamorphosis karya Franz Kafka yang fenomenal terbagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama menceritakan tentang bagaimana seorang Gregor Samsa yang tiba-tiba bangun dari tidur malamnya berubah bentuk menjadi seekor kecoa. Bagaimana dia menyadari kondisi dirinya dengan beradaptasi mengenali tubuh barunya kemudian diperlihatkan juga beberapa usahanya untuk bangun dari tempat tidur dan perjuangannya untuk berdiri dan membuka pintu kamar disaat keluarganya menantinya untuk sarapan dan mengucapkan selamat bekerja.

Bagian kedua bercerita bagaimana reaksi Ayah, Ibu dan adiknya, Grete dalam menyikapi perubahan yang terjadi pada Gregor. Disini Grete masih bisa menunjukkan perhatiannya dengan menyediakan makanan untuk Gregor. Sedang Ibunya masih tampak takut-takut menuju kamar Gregor. Kemudian Ayah Gregor adalah ayah yang terkesan sama sekali tidak mau tahu dan memang sengaja mengucilkan Gregor. Ketiganya selalu membicarakan Gregor dengan berbisik-bisik takut jika hal itu akan terdengar oleh Gregor meski pada akhirnya terdengar juga.  Rasa jijik dan malu juga kerap timbul bagi mereka apabila Gregor manampakan diri depan orang lain. Bagian ketiga bercerita mengenai usaha Gregor untuk menyampaikan perasaannya kepada orang-orang yang dicintainya namun malah mendapat tanggapan yang sangat tidak menyenangkan dan membuat Gregor akhirnya mati putus asa.
The Metamorphosis yang dimaksud Kafka dalam cerita ini adalah perubahan itu sendiri. Perubahan memang selalu terjadi. Setiap orang mempunyai perbedaan sikap terhadap perubahan termasuk apa yang terjadi dengan Gregor dan keluarganya. Menurut hasil Googling, Kecoa sendiri mengalami Metamorfosis yang tidak sempurna karena hanya mengalami 3 stadium yaitu telur-nimfa dan dewasa. Dan kecoa juga mempunya kemampuan beradaptasi yang tidak perlu diragukan lagi, bahkan dalam kondisi ekstrem sekalipun seekor kecoa bisa bertahan hidup. Berbeda dengan kecoa yang diceritakan Kafka yang pada akhirnya mati karena keputus-asaan.
Dan kemudian apa yang terjadi dengan Gregor Samsa? Seorang pemuda yang terhimpit oleh kondisi ekonomi dikarenakan ayahnya yang sudah pensiun dengan meninggalkan hutang yang belum terbayar, Ibunya yang sudah tidak muda lagi dengan penyakit asmanya, juga adiknya Grete yang masih 17 tahun dan baru belajar bermain Biola. Gregor menanggung kehidupan 3 orang yang sangat dia cintai hanya dengan menjadi pedagang keliling. Hal tersebut belum termasuk target dari perusahaannya dan impiannya untuk menyekolahkan adiknya ke Sekolah Musik. Ayah yang selama ini dibutuhkan Gregor malah bereaksi acuh bahkan cenderung menyiksanya dengan melemparinya buah apel karena Gregor dalam bentuk kecoa tidak sengaja membuat Ibunya pingsan saat melihatnya datang tiba-tiba. Gregor kemudian merasa bahwa beban itu terlalu berat untuk dia tanggung. Ketergantungan terhadapnya itu malah membuat orang tua Gregor dan adiknya menjadi orang yang skeptis, berfikiran sempit, berprasangka bahkan mengalami kesulitan dalam bersosialisasi. Dengan terjadinya perubahan yang terjadi pada diri Gregor membuat mereka bertiga tidak bisa berkutik. Usaha Gregor untuk menyadarkan mereka memang terkesan sia-sia karena berakhir dengan keputus-asaannya hingga membuatnya meninggal di kamarnya sendiri.
Tapi sebenarnya, tidak ada yang sia-sia dari dari sebuah usaha karena sepeninggal Gregor, Orangtua Gregor seperti terbuka pandangannya bahwa hidup tidak hanya dalam sekotak apartemen yang mereka tinggali, tapi diluar itu ternyata banyak hal indah yang bisa dinikmati dan dirasakan. Seperti saat mereka keluar dari apartemen dan naik kereta menuju ke desa diluar kota, mereka mulai membicarakan masa depan dan menyadari betapa Grete telah berubah menjadi gadis muda yang cantik. Kedua orang tua Gregorpun akhirnya tersenyum bahagia.

Perempuan Dalam Gambar




Paling tidak saya adalah tokoh perempuan utama dalam gambar itu. Perempuan yang hanya akan hidup dan diingat dalam sebuah gambar. *pukpuk diri sendiri (lagi)

Friday, October 19, 2012

Desa Gunungsari Berikan Pesona Pariwisata yang Mengacu Pada Ekowisata

Beberapa waktu lalu saya telah melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dinas Pariwisata Batu. Selama KKN saya ditugaskan untuk menyusun booklet tentang tempat-tempat yang akan dikembangkan menjadi desa wisata. Salah satunya adalah Desa Wisata Petik Mawar Gunungsari. Berikut adalah sedikit informasi yang saya dapatkan selama KKN disana.

Keberadaan kota Batu yang memiliki kondisi alam yang elok dan asri serta udara yang sejuk memang menjadi alasan utama bagi para wisatawan, baik wisatawan domestik ataupun mancanegara untuk mengunjungi kota yang disebut-sebut sebagai de klaine of Switzerland ini.
Berbagai tempat wisata yang ditawarkan di Kota Batu pun beragam. Salah satunya adalah dengan mengunjungi Desa Wisata. Di Desa Wisata, selain dapat menikmati udara yang sejuk dan pemandangan alam yang begitu indah, para wisatawan juga akan disuguhi dengan berbagai fasilitas umum seperti adanya homestay, rumah makan dan sebagainya. Tidak hanya itu, bermacam-macam paket wisata dan kesenian daerah serta kearifan lokal masyarakat setempat juga ditawarkan di tempat wisata ini.

Satu dari beberapa desa yang berpotensi menjadi desa wisata yang ada di kota Batu adalah Desa Gunungsari yang terkenal dengan Wisata Petik Mawar GUMUR yang berada di wilayah Kecamatan Bumiaji. Desa Gunungsari sendiri memiliki luas wilayah 1.318.,42 hektar dengan sebagian besar termasuk wilayah hutan yang luasnya hampir 1.000 hektar dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Malang. Keberadaan Desa Wisata Gunungsari Makmur ( Dewi Gumur ) atau yang lebih dikenal dengan Wisata Petik Mawar GUMUR berawal dari keberadaan jantung desa yang berupa lahan pertanian dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk. Selain itu, potensi budidaya bunga potong mawar dengan lahan budidaya yang luas mendorong anggota kelompok tani bunga potong mawar untuk memaksimalkan pascapanen bunga potong mawar dengan mendirikan Wisata Petik Mawar GUMUR dengan pembiayaan berasal dari swadaya masyarakat khususnya anggota kelompok tani dan diresmikan oleh Walikota Batu pada tanggal 21 Maret 2012.



Desa Gunungsari merupakan satu-satunya desa di wilayah Kecamatan Bumiaji yang memiliki potensi budidaya bunga potong mawar yang besar dengan cakupan luas lahan mencapai lebih dari 60 hektar. Desa ini terletak diantara daerah perbukitan gunung Panderman disebelah selatan serta gunung Arjuna disebelah utara. Desa ini juga merupakan desa pemasok bunga mawar potong terbesar di seluruh Indonesia. Jenis mawar potong yang ditanam petani di desa ini ada beberapa macam. Jenis mawar lokal unggulan dinamakan mawar Pergiwo Pergiwati dengan warna merah tua dan merah muda. Selain itu mawar jenis Holland juga banyak dijumpai dengan warna yang indah seperti merah tua, merah, putih tissue, putih salju, pink, pink tua, salem, oranye dan lain sebagainya yang berasal dari berbagai macam varietas diantaranya Cerry Brandy, Havalan, Luciana, Marbel, Red Holland serta masih banyak lagi varietas yang sedang dan akan dikembangkan.





Selain memiliki potensi lahan budidaya bunga mawar potong yang cukup luas, Desa Wisata Petik Mawar Gunungsari juga menyiapkan beberapa paket wisata bagi para wisatawan yang berkunjung seperti paket wisata petik mawar, paket merangkai bunga dan paket budidaya bunga mawar potong serta bunga potong lainnya. Untuk mendukung paket wisata yang sudah ada, disediakan juga fasilitas lain seperti home stay. Hingga saat ini terdapat sepuluh home stay yang ada di Desa Wisata Petik Mawar Gunungsari. Kedepannya akan segera dibangunnya sebuah restoran yang berdiri di tengah areal sawah, kolam renang, kolam pemancingan dan area outbound guna mengembangkan Desa Wisata ini menjadi suatu tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Bersama ketua pengelola Desa Wisata Gumur

Paling tidak saya harus punya sesuatu untuk mengenang tempat ini, maka jadilah foto ini hahah

THE DIFFERENCES BETWEEN TRADITIONAL GRAMMAR AND FUNCTIONAL GRAMMAR



In linguistics, traditional grammar is the collection of prescriptive rules and concepts about the structure of language that is commonly taught in schools. It is prescriptive because it focuses on the distinction between what some people do with language and what they ought to do with it and the concepts treated in traditional grammars include, subject, predicate, object, complement, noun, adjective, determiner, verb, adverb, preposition, conjunction, pronoun, etc.

                The functional grammar is concerned with the way that the different kinds of meaning that contribute to grammatical structure are comprehensively addressed. It is concerned with resources for:

  •         analysing experience - what is going on
  •     analysing interaction - who is communicating with whom
  •     analysing the ways in which messages are constructed
In addition it is concerned with recourses for combining clauses into clause complexes (sentences)
Talking about the differences between traditional grammar and functional grammar, the traditional grammar is correct "textbook" grammar but functional grammar is colloquial grammar, grammar that people use in regular conversation. For instance, people tend to say "Who are you going with?" even though that is incorrect and the correct form would be "With whom are you going?" (Prepositions should always precede their objects, and "who" should be in the objective case "whom").

Traditional grammar mainly focuses on the role and meaning of individual words and functional grammar is more concerned with units of meaning and typically groups words into units of contextual meaning. The functional grammar is particularly useful for teaching language and literacy skills due to the focus on meaning.
From those information’s above, we can conclude that traditional grammar is particularly useful for explaining layers of language at the sentence level and below, e.g. sentences, clauses, phrases, words, prefixes, suffixes and word-formation. Traditional grammar is not a unified theory or model of language - its terms and categories can be used in all kinds of ways, including descriptively (describing what people say), analytically (assigning categories and functions to language elements) or prescriptively (telling people what is correct, sometimes arbitrarily). Whereas, functional grammar is particularly helpful for explaining how language is selected and organised in particular ways for particular socio-cultural purposes. Important variables for describing such different usages are field (information), tenor (formality) and mode (spoken/written). In classroom contexts, functional grammar has been associated with genres, which are predictable, identifiable ways of using language. Other systemic functional grammar terms which people might have heard include circumstance, participant and process.