Thursday, November 22, 2012

Mimpi tentang Hujan



Aku tanya, pernahkah kamu memimpikan seseorang yang tidak kamu kenal? Berhari-hari? Apakah itu normal? Aku pernah. Aku ingat setiap kepingan mimpi-mimpinya. Tertata rapi, runtun membentuk suatu rangkaian alur cerita.

***

Sebut saja hujan. Aku ingat pernah bertemu sekali dengannya di masa lalu. Hanya bertemu. Tidak pernah kami berbincang sebelumnya. Hanya sesekali bertemu pandang.

Kemudian, lama aku tidak bertemu hujan. Tentu aku sudah lupa sekarang. Tidak pernah sekalipun aku memikirkannya. Bah, siapa yang perduli tentang hujan? Toh, kami tidak saling kenal.

Hidupku dipenuhi apapun selain hujan sejak itu. Sebut saja Kemarau, Semi, Gugur, Dingin dan Salju adalah sahabat-sahabatku. Mengisi hari-hariku, menemani sepi-sepiku. Memenuhi pikiranku.

Hingga hujan kembali. Bau hujan membuatku ngantuk. Aku terlelap dan aku merasa aneh. Aku memaksa terjaga. Rupanya aku mimpi. Mimpi tentang hujan.

***

Mimpi di hari pertama; aku ingat saat itu sore hari. Bersama sahabat-sahabatku, Kemarau, Semi, Gugur, Dingin dan Salju, aku sedang bermain. Lalu aku melihat seseorang dari kejauhan. Dia hanya muncul begitu saja. Tidak menjauh, tidak juga mendekat. “Hujan...”, bisikku.

***

Mimpi di hari kedua; aku ingat saat itu sore hari. Aku berjalan di atas tanah penuh genangan air. Becek dimana-mana. Seseorang membimbingku. Menggenggam tanganku. Namun, aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia berjalan memunggungiku. Tunggu, sepertinya aku tahu siapa. “Ini, bau hujan...”, bisikku.

***

Mimpi di hari ketiga; aku ingat saat itu masih sore hari. Aku berjalan di tengah keramaian. Aku berjalan berlawanan arah seorang diri. Tidak tahu hendak kemana. Lalu aku melihat buket-buket bunga mawar terpampang di ujung jalan sana. Ketika ku dekati, aku ingin mengambil setangkai. Namun, tak satupun dapat ku ambil tangkai dengan kelopak yang utuh.
Aku hampir putus asa saat seseorang datang membawa setangkai bunga mawar kuning. Hmm...kuhirup nafas dalam-dalam. “Bau ini...”. Bukan, bukan bau wangi bunga mawar. Tapi ini adalah... “Bau...Hujan!”
Dan mawar kuning itu dia berikan padaku, “Untukkmu.”

***

Mimpi di hari keempat; aku ingat saat itu masih sore hari. Dan aku masih menggenggam mawar kuning-ku. Kami duduk berdampingan memandang langit. Tiba-tiba dia mengulurkan tangan, “Kita belum pernah kenalan. Sebut saja aku, Hujan.”
Aku menyambut tangannya malu-malu, “Aku...sebut saja aku sore.”
Dia lantas tersenyum. Senyumnya untukku.

***

Mimpi di hari kelima: aku ingat saat itu tetap sore hari. Kami berjalan bergandengan tangan. Hujan membawaku ke sebuah tempat. Tempat dimana mendung, petir dan pelangi berkumpul. Tempat yang dia sebut rumah.
“Kelak jika kau mencariku, kau akan menemukanku disini. Aku tidak akan kemana-mana.” Begitu ucapnya padaku. Dia lantas tersenyum. Senyumnya untukku.

***

Mimpi di hari keenam: aku ingat saat itu langit sudah hampir petang. Sudah tidak ada tempat lagi bagi sore jika malam sudah datang menggantikan. Tapi aku sore yang nakal ingin bertemu Hujan walau petang sudah datang. Malam yang geram berlari mengejar dan hendak menangkapku. Seperti biasa dia akan mengadukanku pada ibu.
Aku berlari dan berlari. Berharap akan menemukan jalan menuju rumah Hujan. Tapi aku tersesat. Tidak tahu berada dimana. Sementara Malam semakin dekat. Aku bersembunyi dibalik gunung. Aku menangis disana. Berharap Malam tidak akan menemukanku. Berharap Hujan akan menemukanku.

***

Pada hari ketujuh, kedelapan, kesembilan dan seterusnya aku berhenti memimpikan Hujan.

***

Bermimpi memang mudah. Hanya perlu memejamkan mata untuk sampai kesana. Namun, akan menjadi sulit jika disanalah satu-satunya Ruang Temu bagiku untuk bertemu.

~Fin~
Dari Sore untuk Hujan

Sunday, November 18, 2012

Terima Kasih, Ayah




Entah apakah memang ada konspirasi atau hanya sekedar kebetulan untuk membujuk saya kembali. Saya mendapat tugas prakarya dari sekolah untuk membuat lukisan. Kami diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk menentukan tema atas lukisan apa yang akan kami buat. Saya menatap kosong kanvas didepan saya. Persis seperti kejadian sebelas tahun lalu. Tiba-tiba saja saya merasa gugup. Saya menggenggam erat-erat kuasnya. Tidak tahu akan melukis apa. Lagi-lagi saya merasa kosong. Bedanya sekarang saya tidak punya apapun untuk menutupi kekosongannya. Tanpa ada pertimbangan apa-apa, saya melirik ke arah lukisan Bali yang terpampang di salah satu sisi dinding ruang tamu kami. Seperti seseorang yang kesetanan saya pun menyambar kuas dan mulai melukis.

Lukisan saya belum kering saat ayah dan salah seorang kakak saya pulang, entah darimana. Tanpa menunjukkan ekspresi terkejut, ayah hanya tersenyum memandangi lukisan yang baru saya buat.

“Apa ini? Kebakaran?”, komentar kakak saya.

Saya ikut memandanginya, setuju bahwa dari jauh memang tidak tampak seperti langit pagi tapi lebih terlihat seperti langit yang terbakar. Sungguh lukisan yang buruk. Saya pun pergi.

Saya bangun dengan malas keesokan harinya. Hari dimana lukisan itu harus dibawa dan dikumpulkan. Setelah mandi dan berganti baju, tanpa berniat sarapan, saya mulai mencari-cari kanvas lukisan saya.  Tetap masih dengan perasaan malas, saya menemukannya di teras depan. Seseorang telah memindahkannya. Baru saja saya mau mengambilnya, saya sudah dibuat heran oleh perubahan yang ada pada lukisan saya; langitnya.

Iya, langitnya. Walaupun tidak seindah lukisan aslinya, tapi langitnya sudah jauh lebih baik daripada langit yang kemarin saya buat. Tidak tampak seperti langit yang terbakar lagi. Saya tersenyum, kali ini tidak dengan perasaan malas. Terima kasih, Ayah.

Ingin Kembali




Beranjak remaja, keluarga saya kemudian memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar. Memang, rumah yang kami tempati saat itu cukup kecil dengan bentuknya yang memanjang. Hanya ada 2 kamar tidur untuk lima anggota keluarga kami. Kedua kakak saya cukup dewasa. Mereka sudah lulus kuliah. Mereka bukan lagi anak-anak yang bisa dibujuk untuk saling berbagi kamar.

“Masing-masing butuh privasi”, begitu yang mereka bilang.

Saya sendiri tidur di kamar yang tidak cukup besar bertiga dengan kedua orang tua saya. Saya pun juga akan punya kamar sendiri setelah pindah nanti, tapi itu berarti saya harus meninggalkan koleksi buku-buku cerita saya. Terlalu banyak ibu bilang. Sebagian besar buku-buku itu sudah diberikan pada anak-anak sekitar rumah yang punya minat baca besar seperti saya dulu. Lagipula saya bukan anak-anak lagi. Sudah terlalu tua bagi saya untuk membaca kisah-kisah seperti itu lagi.

Berada di tempat baru membuat saya harus memulai dari awal lagi. Saya seperti anak perempuan sebelas tahun lalu. Masih malu-malu. Terlebih saya baru masuk SMA. Saat itu saya duduk di ruang tamu rumah baru saya. Rumah besar dengan empat kamar. Cukup untuk seluruh anggota keluarga saya. Saya memilih duduk di ruang tamu karena tidak terlalu kenal dengan kamar tidur saya yang baru. Hanya ada ranjang, meja belajar dan lemari pakaian disana. Tanpa rak buku, poster-poster di dinding atau bahkan boneka. Cat temboknya masih putih, bersih. Saya lama duduk disana sampai seseorang datang membawa sesuatu yang saya tangkap adalah sebuah lukisan.

Yap, lukisan dari Bali yang bercerita tentang kegiatan masyarakat Bali bersetting pasar dengan langit pagi dan matahari terbit yang indah. Saya melongo. Ayah saya berlarian kecil ke depan pintu. Air mukanya berubah senang. Ayah saya memang mencintai lukisan. Biarpun tidak ahli dan tidak tahu betul tehnik-tehnik melukis, ayah menjadikannya sebuah hobi. Mungkin dari sanalah kecintaan saya pada menggambar berasal. Tapi saya sudah lama berhenti. Saat masuk Sekolah Dasar saya ingat ayah memanggil seorang guru privat menggambar agar saya mau kembali. Ujung-ujungnya, saya ngambek dan kabur. Bersembunyi di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah nenek saya. Saya menangis disana.

Tbc...

Evolution




Sejak kecil saya memang pemalu. Terlalu pemalu untuk disebut sebagai pemalu. Apalagi saya sudah berhenti menggambar. Saya merasa kosong. Selain dongeng yang diceritakan nenek, saya sudah tidak punya apa-apa lagi. Nenek mulai kehabisan kisah-kisah dongengnya. Saya jadi sebal sendiri. Saya mulai mencari sesuatu yang lain untuk menutupi kekosongan saya. Dari sanalah saya berjodoh dengan yang namanya buku.

Buku pertama yang saya lihat adalah buku bergambar. Gambarnya lucu-lucu. Saya menyukainya. Karena belum bisa membaca, saya mulai berkhayal. Saya merangkai-rangkai sendiri ceritanya menurut versi saya; menurut apa yang saya sukai. Hingga saya sampai di titik dimana saya lelah merangkai dan menerka-nerka cerita di balik gambar-gambar yang saya lihat. Sayapun merajuk untuk diajari membaca. Hal ini kemudian membuat saya menjadi satu-satunya anak yang paling lancar membaca di kelas (saat itu saya masih TK).

Saya mulai jatuh cinta pada buku. Namun kegilaan saya pada buku hanya terbatas pada buku cerita dan dongeng. Saya tidak mau membaca yang lain lagi. Orang tua saya mulai membelikan saya buku setiap minggu. Rak-rak dan lemari penuh koleksi buku cerita dan dongeng belum cukup memuaskan saya. Semua sudah habis dibaca. Bahkan ada beberapa yang sudah tiga sampai lima kali dibaca.

Orang tua saya adalah guru Sekolah Dasar. Masih karena penyakit malu saya, saya bersekolah di tempat ibu mengajar. Hanya saja penyakit malu saya sudah tidak sekronis dulu. Menjadi anak salah seorang guru disana membuat saya jadi sedikit ditakuti oleh teman-teman sebaya saya. Saya jadi suka seenaknya sendiri. Saya suka mengancam akan mengadukan pada ibu terhadap siapa saja anak yang melawan. Percayalah selama tiga tahun belakangan dari putri malu saya berubah jadi anak serigala kurang ajar. Hanya saja ibu tidak tahu.

Masih tentang kecintaan saya pada buku cerita dan dongeng. Kekurang-ajaran saya tidak hanya terbatas sampai disana. Sesekali saya pergi ke perpustakaan sekolah. Mencari buku-buku cerita baru, mengambilnya, menyembunyikannya, lalu membawanya pulang untuk kemudian dibaca di kamar sambil menghisap permen. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu.

Tbc...

Saat Kecil




Saya dilahirkan sebagai satu-satunya anak perempuan terkecil dalam keluarga. Kenyataan bahwa saya terlahir selisih sepuluh tahun dari kakak kedua saya membuat saya selalu bersembunyi di bawah ketiak kedua orang tua dan kedua kakak laki-laki saya.

Sejak kecil saya banyak sakit. Saya hampir setiap hari keluar masuk rumah sakit. Namun diluar penyakit-penyakit itu, satu yang membuat orang tua saya khawatir; saya menderita penyakit malu stadium empat. Ketidakpercayaan diri saya mengalahkan saya dalam banyak hal. Saya bahkan menolak berbicara pada orang yang tidak saya kenal. Hingga saya ingat bertemu dengan seorang wanita di rumah sakit pagi itu.

Kami duduk berhadapan dipisahkan meja kayu dengan banyak boneka dan mainan di dekat jendela. Saya melihat sekeliling. Ada banyak rak berisi boneka dan mainan disana, tapi saya tidak merasa senang. Saya mulai menggenggam erat tangan ibu disebelah saya. Saat itu saya masih belum genap 5 tahun. Saya tidak banyak ingat tentang apa-apa yang wanita itu tanyakan pada saya. Yang saya ingat saya tidak menjawab satu pertanyaan pun.

Sepanjang pembicaraan itu saya hanya menggambar dan terus menggambar gambar yang sama; seorang perempuan cantik berambut panjang dengan mahkota yang gemerlapan dan tentu saja, bergaun indah. Barangkali benar itu adalah gambar seorang Putri Raja dalam dunia dongeng. Sejak kecil saya memang banyak mendengar cerita dongeng dari almarhumah nenek saya. Dari sanalah saya mulai mencintai dongeng dan diam-diam mulai menggambar tokoh wanita utamanya. Kenapa hanya tokoh wanita? Saya juga tidak tahu.

      Wanita itu kemudian mulai sering mengunjungi saya dirumah. Masih tetap menggambar dan tidak berbicara, dia mulai melihat gambar-gambar yang saya buat. Dia lantas meminta saya membuatkannya sebuah. Dia bilang dia menyukai gambar-gambar saya. Saya tidak menolak, saya memang suka menggambar. Saya bahkan mewarnainya. Pelan-pelan saya mulai menyukai wanita itu.

Tapi itu tidak lama.

Suatu ketika saya mendengar wanita itu mulai membujuk ibu saya untuk mendaftarkan nama saya pada sebuah perlombaan menggambar. Hari perlombaan tiba. Saya duduk disana. Sendiri. Saya celingukan mencari-cari dimana ibu saya. Kertas di depan saya masih kosong. Pensil-pensil warna juga diam tak tersentuh. Saya mulai menangis. Saya mau ibu saya. Saya mau pulang dan saya berhenti menggambar.

To be continues...

Saturday, November 10, 2012

Sapa sore



Ada perbedaan antara pagi dan sore hari, tentang alasan kenapa keduanya diciptakan.

Dan mengapa saya menyukai sore hari?

Dia memang bukan yang pertama karena selalu ada pagi yang mendahului.

Tapi sore adalah yang terakhir mengiri kepergian Matahari.

Dan Tuhan menciptakan sore hari agar kamu dapat mengikhlaskan apa-apa yang bukan milikmu terbenam bersama Matahari.