Tuesday, December 11, 2012

Didamprat 'Kampret!'


Ada kejadian aneh sepulang saya dari kampus hari ini. Berawal dari enam mahasisa (termasuk saya) yang baru saja menyudahi makan pagi di cafeteria UB memutuskan untuk berpisah (bukan dalam arti sebenarnya). Empat teman mahasisa saya, salah satunya bernama Mawar (nama disamarkan) kemudian pergi jalan-jalan ke Matos. Sedang saya dan salah seorang teman mahasisa saya yang tersisa, sebut saja Cahya (bukan nama sebenarnya) menyamar jadi mahasiswa. Yah, hari itu kami berdua menolak ajakan teman-teman jalan-jalan ke Matos untuk bertandang ke Perpustakaan. Catat sekali lagi; Perpustakaan.

Kalau bukan karena deadline tugas yang semakin mepet sebenarnya saya sih malas ke Perpus. Tapi ya sudahlah. Sekali lagi anggap saja ini adalah bagian dari kodrat hidup yang harus saya jalani. Puk-puk. Lagipula saya percaya bahwa selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Dan ternyata benar. Kurang dari sepuluh menit kami di perpustakaan, berlagak jadi mahasiswa, teman saya mengeluh perutnya mulas. Pikir sendiri kenapa. Beberapa menit selanjutnya kami menuju pintu keluar, lurus ke area parkir, ambil motor, pulang.

“.......”

Dari fakultas saya menuju ke tempat kos, kami harus ambil jalan memutar mengelilingi lapangan rektorat lalu melewati fakultas hukum. Stop. Kita pause dulu ceritanya sampai disini. Sebelum saya melanjutkan, saya mau menceritakan teman mahasisa saya dulu yang bernama Mawar. Tenang saja teman saya yang satu ini tidak ada hubungannya dengan Marwan. Tahu Indra Widjaya? Anak hukum UB yang gagal masuk babak spektakuler Indonesian Idol 2012 yang kemudian jadi penulis dadakan dengan bukunya yang berjudul ‘Idol Gagal’? Coba searching di google atau buka blognya di sini untuk keterangan lebih lengkap. Tapi apa hubungannya dengan Mawar? Nah, si Mawar ini ngefans banget sama si Indra Widjaya. Saya sebenarnya juga sih. Tapi saya lebih tertarik dengan kisah hidup yang dia tulis dalam bukunya. Inspiring kalau saya bilang. Lebih ngegemesin daripada rambut kribonya. Saya juga sering mengalami bermacam-macam bentuk kegagalan, tapi bukan berarti saya harus berhenti. Ini kenapa saya jadi cerita tentang diri saya sendiri?

Oke, cukup. Balik ke cerita awal. Dalam perjalan pulang yang panjang dan berliku-liku melewati lapangan rektorat itu, saya dan Cahya kemudian melaju melewati fakultas hukum. Di antara deretan mobil-mobil yang di parkir didepan fakultas, saya secara tidak sengaja melihat sesosok makhluk kribo tiba-tiba nyempil disana. Benar saja dugaan saya kalau itu Indra Widjaya si ahli gagal yang belakangan sering digembar-gemborkan. Jangan salahkan saya atau mata saya. Bukan salah mata saya melihat. Salahkan rambut kribonya yang mecolok itu.

Saya jadi langsung kepikiran teman mahasisa saya, Mawar. Dengan sigap saya mulai menekan tuts hp dan mengirimkan sms yang kira-kira isinya begini:

“SAYA KETEMU INDRA WIDJAYA DEPAN FAKULTAS HUKUM!! GANTENG BEH!! LEBIH GANTENG ASLINYA DARIPADA YANG ADA DI FOTO!! HIDUNG SAMA RAMBUT KRIBONYA NYOLOT ABIS!!”
(Sengaja saya bikin heboh dengan mengetik huruf kapital dan tanda seru dimana-mana)

Tidak lama Hp saya bunyi. Sms dari Mawar:

“KAMPRET LU, NDAH! L Ngapain ke fakultas hukum segala sih kamu?”
(Belum apa-apa saya sudah didamprat kampret)

Saya pun kemudian mengirim sms balasan:

“Cahya kebelet boker. Dia ngajakin cepet-cepet pulang tadi. Kita lewat depan fakultas hukum. Kemudian saya lihat cowok kribo, nggak tinggi-tinggi banget pakai kaos item. Saya bilang sama Cahya kalau itu Indra Widjaya. Padahal sebenernya saya Cuma asal ngomong. Abis saya ngelihatnya dari belakang sih. Cuma bisa lihat punggungnya doang. Eh, pas motor Cahya jalan ngelewatin itu anak, saya ngelirik lagi. EH, LAH KOK BENERAN INDRA WIDJAYA. Saya Cuma melongo beberapa detik. Maunya sih ngajakin Cahya berhenti dulu. Siapa tau bisa dapat foto. Tapi nggak jadi, kasihan muka Cahya udah keringetan nahan e’ek yang udah mau keluar.”

Dalam hati saya cekikikan membayangan Mawar teriak kampret berkali-kali. “HAHAHA Makan itu kampret!”.

Mawar, maafin Indah, ya? :’)

Beginilah kodrat yang harus saya jalani...



Menurut teori Indra Widjaya, si ahli gagal dalam bukunya berjudul 'Idol Gagal', kelompok anak kuliahan dibagi menjadi dua jenis; Mahasiswa dan Mahasisa. Saya pun mutlak, otomatis, tidak diragukan, dan tanpa pertimbangan apapun akan langsung digolongkan dalam kelompok yang kedua; Mahasisa. Pffftttt~

Ketika berada didalam kelas, duduk, absen, kedip-kedip, bengong, melirik jam sambil menguap sesekali adalah rutinitas harian saya selama ada di kampus. Sudah tidak ada hal lain lagi yang saya lakukan dalam kelas selain seperti apa yang saya sebutkan di atas. Maklumi saja, menjadi Mahasisa juga merupakan kodrat yang harus saya jalani.

Tetapi segala sesuatunya berubah sejak dia datang dalam hidup saya. Memenuhi kepala saya yang sudah kelamaan kosong karena kebanyakan bengong. Sebenarnya siapa dia? Baiklah, sebut saja Bunga. Ah, tidak. Jangan. Nama Bunga tidak cocok untuknya. Sebenarnya saya tidak tahu namanya. Entah saya benar-benar tidak tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu, hanya Tuhan dan saya yang tahu. Biar itu jadi urusan antara saya dan Tuhan. Yang lain minggir teruskan membaca dengan tenang dan penuh penghayatan.

Kami baru bertemu saat kami sama-sama ada di semester tujuh. Dari delapan mata kuliah yang saya ambil di semester ini, lima diantaranya, kami mengambil kelas yang sama. Saya jadi terbiasa bertemu dengan dia sampai tidak sadar kalau saya sering memperhatikan dia dari jauh. Saya juga baru sadar kalau rambutnya yang berjambul itu mirip Matt Damon. Memang sejak kapan Matt Damon berjambul? Entahlah, yang jelas saya suka menyebut dia mirip Matt Damon daripada Elvis Presley.

Karena penyakit kanker malu saya yang lumayan kronis kambuh lagi, saya hanya bisa pasrah memandangi dan mengagumi jambulnya dari jauh. Sungguh ironis. Terlebih saat salah seorang teman saya dengan terang-terangan berani mengakui bahwa ia juga menyukai Matt Damon nya. Saya terharu terpukul sekali mendengarnya. Bagaimana mungkin? Ternyata selama ini kami menyukai orang yang sama. Seperti cerita dalam sinetron ya? Tapi tidak! Cerita saya bukan cerita sinetron. Kalaupun mau dijadikan ide cerita sebuah sinetron saya menuntut harga yang setimpal. Bagaimanapun cerita ini adalah curahan hati saya yang sudah tercarut-marut seperti bekas dipatut berkali-kali meninggalkan bekas luka dengan lubang disana-sini. Pedih.

Runtutan peristiwa berikutnya yang saya ingat adalah saya tetinggal 5 cm langkah dibelakang teman saya. Saya tidak tahu bagaimana dia bisa begitu percaya diri memperkenalkan dirinya, kemudian berbincang dengannya, sedikit menggodanya, meminta di follow back, dan ujung-ujungnya mereka bertukar nomor Hp. Pedih.

Backsound: Gugur Bunga Yovie Nuno – Galau

Semenjak itu saya jadi lebih banyak meluangkan waktu untuk mencoba bunuh diri duduk di depan laptop. Menuliskan segala apa saja isi yang ada di dalam kepala saya. Untuk ukuran kepala normal, saya rasa kepala saya sudah kelebihan muatan. Dan untuk pertama kalinya saya merindukan kekosongan dan kelegaan ruangan dalam kepala saya. Saya tidak lagi merisaukan soal Matt Damon hal-hal itu sekarang. Bukan salah siapa-siapa kalau Matt Damon dia lebih memilih untuk akrab dengan teman saya. Memang saya saja yang terlalu pasif dan tidak punya inisiatif. Tapi tetap saja, saya tetap akan menganggap hal itu sebagai kodrat yang telah digariskan Tuhan untuk saya jalani. Lagipula kalau tidak begini, saya mana punya cerita untuk dibagikan kepada kalian? :)

Backsound: Homogenic – Get Up and Go!

Friday, December 7, 2012

Membunuh Matahari




Aku mulai menyukai dia, Matahari.

Bukan karena kecermelangan cahayanya. Justru cahayanya yang berpendar itu seringkali menyakiti mataku. Membuatku harus memicingkan sebelah mata tiap kali ingin menatapnya. Namun aku menikmati setiap prosesnya. Proses yang kusebut 'mencintai'. Dan, ya, aku mulai jatuh cinta pada Matahari, hingga muncul seorang yang lain diantara kami; Pagi.

Sudah jadi kodrat masing-masing bahwa Pagi selalu datang lebih dulu. Dia bertugas mengawali hari dan menjemput Matahari. Seperti jodoh yang ditakdirkan, begitulah kisah Matahari dan Pagi dimulai. Kemudian mereka pun saling jatuh cinta.

Aku yang merasa dicampakkan oleh Matahari merasa tidak pernah lebih buruk dari ini. Bermodal sebentuk keyakinan berkelap-kelip; dengan catatan sebentar nyala sebentar mati, dengan sabar aku menunggu Matahari kembali pulang denganku. Dia sudah cukup jauh tersesat kukira.

Satu jam, tiga jam, tujuh jam aku masih menunggu dengan sabar. Dan dengan sisa-sisa kesabaran yang kupunya, aku merasa Matahari sudah pergi sedemikian tinggi.

Hingga sampailah aku di ujung hari. Cahayanya yang berpendar itu kini tidak lagi bisa kurasakan menerpa wajahku. Kurasakan pipiku mulai basah. Bukan, bukan karena menangis. Barangkali kesabaranku telah melampaui batas hingga aku tidak lagi ingin menangis. Tampaknya hujan mulai turun.

Diantara curah rintik hujan aku menatap langit. Tidak kulihat ada Matahari disana. Langit pun berubah kelabu. Lagipula sekarang bukan lagi Pagi hari. Pagi sudah pergi. Jadi kemana Pagi pergi? Apakan Pagi membawa pergi Matahari? Lalu kemana mereka pergi?

Segala pertanyaan bermunculan meracuni hati dan pikiranku. Membuatku mengutuk diri sendiri yang tidak terlahir sebagai Pagi yang dicintai Matahari. Membuatku diam-diam ingin membunuh Matahari. Membuat tidak seorangpun dari kami, aku atau Pagi yang akan memiliki Matahari.

Dengan sebilah pisau tergenggam di tangan dan diantara titik-titik kecil hujan, kususuri setiap jalan mengikuti jejak-jejak Matahari. Hati dan pikiranku sudah diselimuti oleh kabut. Membuatnya tidak lagi benar-benar jernih. Pun gemuruh amarah dalam diri sudah tidak dapat reda terhapus hujan sehari.

Kebencian telak menguasaiku.

Hari itu berkabut. Langit masih tertutup awan mendung. Matahari pasti bersembunyi di balik gumpalan awan-awan kelabu. Aku kemudian mempercepat langkahku. Kutebas satu persatu awan yang menghalangi dengan sebilah pisau yang kugenggam. Bagaimanapun akan kutemukan Matahari. Hidupnya harus berakhir di tanganku.

Tidak butuh waktu lama. Cahayanya yang berpendar itu samar-samar mulai terlihat menembus celah-celah awan yang tertebas olehku. Terendap-endah aku mengintip melalui celah-celah kecil yang ada disana. Memastikan bahwa itu benar cahaya Matahari.

Seperti ditikam dengan ujung kilatan ekor-ekor petir, aku melihat Matahari dan Pagi sedang bercumbu. Hatiku nanar bukan main. Hanya dengan sekali tebas kuakhiri hidup sang Matahari. Darahnya mengucur begitu derasnya. Membasahi hampir seluruh tubuhku. Pagi yang ketakutan menatapku dengan pandangan tak percaya. Matanya mengiba memohon belas kasih. Memohon agar tidak dibunuh juga. Lalu kubiarkan dia pergi. Kubiarkan dia menderita hidup tanpa Matahari.

Darahnya yang sedemikian banyak itu membuat langit berubah kemerahan. Awan-awan hitam sudah pergi. Kini hariku telah tiba. Kodratku sebagai sore telah kujalani. Telah kutenggelamkan Matahari. Mengantarnya sampai akhir. Membiarkan sisa-sisa jasadnya lenyap ditelan Malam.