Saturday, June 1, 2013

Angin



Keesokan harinya ketika Nona terbangun,
Nona sadar bahwa memang sudah jadi kodrat Tuan Angin untuk terus berlari.
Kepakan-kepakan sayap Tuan hanya sebentuk udara
lalu hilang sekelebat.


Malang, 2013

Tuesday, May 7, 2013

Dari Hujan kepada Matahari #Part3

Kudapati kedua tanganku masih tertelungkup diatas meja makan dengan kepalaku bersandar diatasnya. Rupanya aku tertidur. Kulihat hari sudah pagi. Aku memandang keluar jendela. Mendung. Titik-titik air bekas hujan tadi malam belum juga hilang. Hujan pagi ini masih saja menyisakan rintik gerimis kecil. Bak sebuah pertanda, sayup-sayup kudengar suara deru mobil Panji. Hendak pergi kemana dia?
Aku bergegas keluar rumah. Tidak kulihat ada Hana disana. Barangkali dia masih tidur. Terlalu pagi memang untuk bangun pada jam begini di hari Minggu. Panji sendiri masih memanaskan mesin mobilnya. Bersiap akan pergi ke suatu tempat.
“Aku ikut.” kataku. “Terserah kau ijinkan atau tidak.” Aku pun melompat naik ke dalam mobil dan menempatkan diriku duduk di jok depan, disebelahnya. Diapun tampak tak keberatan.
Sepanjang perjalanan Panji hanya diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ku urungkan niatku untuk bertanya padanya mengenai kertas berisi alamat yang datang bersama surat-suratku kemarin malam. “Akan ada banyak waktu untuk bertanya padanya nanti.” pikirku.
***
Mobil Panji kemudian berhenti pada pelataran sebuah makam. Ia memarkirkan mobilnya disana.
 
“Untuk apa kita kesini?” tanyaku cemas.
Tidak menjawab, Panji lantas melepaskan ikatan sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil.
Aku mulai berdebar-debar. Firasatku buruk. Apa yang terjadi?
Aku memang tidak pernah menyukai tempat ini. Siapa yang suka? Aku benci dengan segala bentuk perpisahan. Apalagi kematian. Tempat ini tak gubahnya seperti tempat yang akan memaksamu menjadi orang yang ditinggalkan, bukan meninggalkan. Akan terus menghantuimu dalam bentuk kenangan tentang orang-orang yang kau cintai.

Aku memaksakan kakiku melangkah keluar dari mobil. Kulihat Panji sudah jauh masuk ke dalam. Aku ragu. Terjebak pada pilihan antara menemaninya masuk atau menunggunya saja disini.
 
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti jejak-jejak kaki Panji yang tercetak diatas tanah becek bekas diguyur hujan. Aku mengkhawatirkannya. Aku khawatir hujan masih menjadi peringatan bagi Panji akan kedatangan hari-hari terburuknya. Dan saat itu terjadi aku ingin berada disana. Di sisinya.
Semakin masuk kedalam, semakin jelas kulihat ia tengah terpekur didepan sebuah makam yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku. Dari balik jaket kulitnya, ia mengeluarkan setangkai bunga mawar putih dan meletakkannya diatas gundukan tanah merah dihadapannya.
 
Kudekati ia perlahan-lahan. Ada semacam guratan sedih yang nampak jelas kutangkap dari wajahnya. Kubaca dengan hati-hati tiap deretan huruf-huruf kecil yang tertulis diatas nisannya. Tertulis nama Kanadia disana.
Namaku.


 
*”Bunga mawar putih” melambangkan cinta rahasia dan diam, kesungguhan dalam permohonan maaf, perwujudan rasa simpati dan penghormatan untuk mengenang mendiang seseorang yang dikasihi, serta dapat melambangkan awal yang baru atau sebagai tanda perpisahan.

Saturday, May 4, 2013

Dari Hujan kepada Matahari #Part2


Suatu sore aku duduk sendirian di sebuah bangku yang terletak di taman kota. Kau mengagetkanku dengan sebuah pelukan. Tidak tahu kau datang darimana. Kau sudah seperti hantu. Muncul dengan tiba-tiba, lalu hilang sekelebat. Namun masih saja membayangi. Aku bahkan masih mengharapkan ucapan selamat ulang tahun darimu. Sial! Padahal aku tahu betul pelukan itu bukan untuk menyelamatiku. Jika bisa, aku memang berharap untuk tidak tahu saja.
“Namanya Hana. Aku akan menikahinya bulan depan, Di. Kau datang ya?”
***
Sepanjang hari itu aku hanya duduk menghadap keluar jendela kamarku. Memandangi hujan turun. Apa yang kau ucapkan padaku kemarin sore memenuhi hampir seluruh isi kepalaku. Panji, aku merasa seperti terjebak diantara kata-kata. Tidak tahu sekarang hendak menulis apa lagi. Kata-kata ini, bagaimana aku harus merangkainya? Harus kumulai dari mana? Disini? Disana? Atau malah ditengah, diantara keduanya? Lalu bagaimana dengan akhirnya? Harus kuakhiri dengan cara yang bagaimana? Ada satu kata yang agaknya terlambat tercipta, ‘kita’. Kutemukan saat coba menyatukan kata ‘aku’ dan ‘kau’. Tapi kata itu tertambat disana. Cukup lama. Haruskah kuberi jeda dengan koma? Atau bagaimana jika kuakhiri saja dengan titik? Bagaimanapun hal ini masih menyisakan tanda tanya. Barangkali aku, kau, atau kita tidak akan bisa menjawab.
*** 
Aku memang tidak berhak atas apapun darimu. Tidak bisa menyalahkanmu atas luka yang menjangkiti seluruh hati dan pikiranku. Tidak juga bisa menyalahkan rasa yang kini terus tumbuh. Kusalahkan diamku, ketakutanku, ketidakjujuranku dan, hujan. Entah kenapa aku merasa seperti hujan. Hanya ada di saat-saat terburukmu.

Kalau benar cinta itu butuh pengakuan, bukan aku tidak mau mengakui. Aku hanya takut kau tidak menyukainya. Lalu kedekatan ini buyar selamanya.

Kini sudah ku tetapkan pilihanku. Akan kutempatkan tanda titik di antara kata ‘aku’ dan ‘kau’. Akan kubawa rasa ini pergi menjauh. Bagaimanapun luka ini harus pulih.
 
NB: Maaf aku tidak bisa datang bulan depan.
***
Panji, bagaimana kabarmu? Sudah lama aku tidak menulis surat untukmu. Tiga tahun kita tidak bertemu. Aku memang sempat membubuhkan tanda titik untuk mengakhiri kisah ini. Namun nyatanya hal itu tidak merubah apapun. Lukaku bahkan belum pulih. Sudah kuanggap sebagai bagian dari diriku.
Diam-diam aku menyesali keputusanku meninggalkanmu. Mengingkari kenyataan yang ada. Menghilang tanpa mengabarkan apa-apa. Kurasa tidak adil bagimu. Setidaknya aku harus mengucapkan selamat tinggal, bukan? 

Aku merindukanmu. Kalau kau bagaimana? Kuharap kau baik-baik saja.
 
***
“Itu yang Dia tulis dalam surat terakhirnya.” Panji berujar lirih.
“Jadi, maksudmu...perempuan ini menyukaimu?” sergah istrinya.
 
Ada kegamangan luar biasa yang menyelimuti kami bertiga di ruangan itu. Kulihat Panji hanya mengusap-usap wajahnya. Aku hampir saja ingin mengaku. Tidak lagi ingin berlari. Sudah terlambat bagiku untuk menyangkal. Bagaimanapun, kami semua yang ada disini tahu, aku yang menulisnya. Tapi aku perempuan, sama halnya dengan istrinya. Tegakah aku?
 Itulah yang membuat surat-suratku tertahan begitu lama. Aku tidak punya keberanian untuk mengirimkannya pada Panji. Aku takut keberadaan surat-suratku nanti hanya akan melukainya. Melukai hati istrinya, dan tentu saja pernikahannya. Maka jadilah surat-surat itu sebagai pelampiasan. Sebagai teman bicara.
Ada perasaan bersalah saat surat-surat itu sampai kemari. Sudah lama sekali surat-surat itu tersuruk di laci meja kamarku. Aku bahkan sudah ingin membuangnya. Entah bagaimana surat itu bisa ada di meja ini sekarang, bersamaku sebagai penulisnya.
 
“Kau bahkan tidak pernah menceritakannya padaku.”
“Andai aku tahu, Han.”
“Kalau kau tahu, apa kau menyesal?”
Aku tercekat. Kulihat Panji pun sama. Tidak menyangka istrinya akan mengatakan hal seperti itu. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Sedikit memejamkan mata. Bersiap untuk menerima apapun yang akan Panji katakan.
Ia pun melepas kacamatanya. Berusaha mengatur nafas. “Semua yang terjadi pada diri kita sekarang sudah digariskan. Kalian bukan pilihan yang bisa aku pilih. Masing-masing memiliki tempat dan arti sendiri bagiku.”
Aku tersenyum getir. Andai aku adalah Hana.
“Kalian sama-sama pentingnya buatku. Tapi sekarang...kaulah masa depanku, Han.”
Hampir terdengar seperti sebuah tamparan bagiku. Aku merasa tersudut dan kalah. Tapi apa lagi yang bisa kuharapkan? Kuremas jariku berulang-ulang. Berusaha kembali pada kenyataan dimana aku duduk sekarang. Perempuan cantik berjilbab yang ada dihadapanku saat ini adalah istrinya. Masa depan Panji.

Kupaksakan senyumku. Ada sebentuk kekakuan disana. Ahh, actingku memang payah. Aku berusaha mencari pegangan atas semua yang terjadi malam ini. Berusaha agar tidak jatuh. Ya, satu-satunya hal terbaik yang aku dapatkan adalah; paling tidak Panji sudah tahu. Meski aku harus membiarkannya tahu dengan cara seperti ini.


Hana mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku bajunya. “Ini datang bersama surat-surat itu tadi siang.” ia pun menyerahkannya pada Panji.

Panji memakai kembali kacamatanya. Mengernyitkan kening sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Menatap istrinya dengan pandangan tak percaya. Aku yang berada di sebelahnya ikut bertanya-tanya. Sepintas kulirik tulisan yang ada disana; sebuah alamat. Alamat siapa itu? Bukan alamat rumahku atau kontrakan lamaku. Lantas kenapa datang bersama surat-suratku? Aku tidak ingat pernah menulisnya.

“Pergilah besok pagi.” katanya lagi. “Belum terlambat untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Aku tidak mengerti.

Hana beranjak dari kursinya. Meninggalkan kami berdua, dan...hujan.


“Betapa hujan selalu mengingatkan aku padamu. Tidak sekalipun hujan turun tanpa aku memikirkanmu, Di.” ucapnya lirih. 

Tangisku pecah saat itu juga. Beradu dengan suara hujan di luar sana. Aku tidak lagi ingin mengatakan apa-apa. Aku berhutang banyak pada hujan. Dengan caranya, dia selalu berhasil membawaku kembali pada Panji. Menemani untuk melewati saat-saat terburuknya, sekali lagi.

To be continued...

Sunday, April 21, 2013

#DaKu (Dari Aku untuk Kamu) Project - Tidak ada Judul



Anggap aku gila karena pernah memimpikannya. Jauh sebelum ini...

Kusebut dia Hujan, karena aku bertemu dengannya hanya pada hari hujan turun. Lagipula ada bagian dari dalam dirinya yang kupikir menyeyukkan. Persis seperti butir-butir hujan.

Dia bukan seorang yang istimewa. Hanya lelaki biasa seperti yang lain. Tapi dia cukup pintar bergelayut pada sel-sel memori otakku. Memenuhi kekosongan pada setiap celahnya. Membuatku hampir tidak lagi bisa memikirkan yang lain. Kurasa benar jika aku menyukainya. Dan jangan tanyakan padaku bagaimana. Karena aku sendiri sedang tersesat. Tidak tahu jawabannya.

Ya, aku menyukainya tanpa alasan.

Bukan karena bentuk rahangnya yang tegas atau karena bentuk tubuhnya yang tegap-tinggi sempurna. Bukan! Entahlah. Dia juga bukan lelaki yang sangat tampan. Bukan keturunan ningrat atau berasal dari keluarga konglomerat. Dia bahkan tidak populer dan digilai banyak perempuan. Dia hanya sederhana. Sesederhana itulah aku menyukainya.

Aku sering memperhatikannya dari jauh. Dia memang bukan orang yang suka berbicara. Tapi dari caranya tertawa aku tahu sesungguhnya dia tidak sedingin hujan. Mata yang begitu tajam itu selalu menyipit lucu saat tertawa. Hangat.

Pernah sesekali kami bertemu pandang. Kedua bola mata kami bertemu. Lama. Tatapannya seperti menyiratkan sesuatu. Mungkinkah dia tahu?

Namun hanya sebatas itu. Sebatas itulah kami. Tidak pernah berbincang atau mengetahui nama satu sama lain. Karena kami tidak saling kenal. Orang yang hanya bisa kugapai sebatas dalam mimpiku saja.


Saturday, April 20, 2013

Dari Hujan kepada Matahari #Part1



Hari itu sekitar jam sebelas malam. Di sebuah ruang makan kami bertiga duduk berhadapan. Sementara tangannya gemetar melipat surat terakhir dari sekian banyak surat usang yang istrinya temukan di depan pintu rumah mereka sore tadi. Wajahnya kian jatuh, tertunduk menahan isak. Namun ia laki-laki, ia tak ingin menangis di depan istrinya. Sementara istrinya menatapnya serius dengan setumpuk pertanyaan tentang surat-surat yang kami tidak pernah tahu darimana datangnya.
Akupun yang semenjak tadi duduk disampingnya ikut tertunduk. Tidak berani membuat gerakan sekecil apapun, bahkan hanya untuk menarik nafas panjang.
“Siapa Dia?” suara istrinya memecah remang suara rintik hujan yang semenjak sore tadi belum juga reda.
“Seseorang yang aku kenal di masa lalu.” Suaranya masih saja tertahan. Aku bahkan sebenarnya tidak yakin pada apa yang sedang ia pertahankan.

*** 
Sudah seminggu ini aku memperhatikanmu. Tidak sedetikpun rela kehilanganmu dari pandangan. Jujur saja, ada desir hangat dalam dadaku setiap kali menatapmu. Kau begitu terang seperti matahari. Begitu terangnya hingga kadang-kadang cahayamu yang berpendar itu menyilaukanku. Membuatku tidak bisa dekat-dekat lama denganmu. Membuatku hanya bisa melihatmu dari jauh. Barangkali aku hanya takut cahaya terangmu itu kelak akan menyakitiku. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
***
Tahukah kau, aku terjebak begitu lama dalam kehidupan masa laluku. Saat dimana senyummu itu ditujukan hanya untukku. Meski sempat menghilang nyatanya aku tidak benar-benar pergi. Ada sesuatu yang menahanku untuk tetap tinggal.

Tidak banyak yang tahu memang siapa aku. Seolah aku dilahirkan sebagai penyendiri. Tidak pernah terlihat duduk semeja dengan seorang teman. Selalu memilih tempat duduk paling belakang. Paling ujung. Sendiri.

Begitulah, sudah lama sekali sejak waktu itu. Aku tidak pernah lagi merasa untuk bisa akrab dengan seseorang. Aku nyaris hampir tidak bisa percaya jika sebuah hubungan, apapun itu murni tanpa pengkhianatan. Bukan, bukan karena aku pernah dikhinati. Tapi justru akulah yang mengkhianati. Pernah pada suatu malam kutinggalkan ia yang menungguku di masa lalu hanya untuk menemui seorang yang lain. Orang yang tidak benar-benar punya cinta untukku. Dan memang benar, pada akhirnya aku ditinggalkan oleh keduanya. Menyisakan sebongkah penyesalan yang tidak putus-putus.
***
Masih ingatkah kau bagaimana kita bertemu? Di pelataran sebuah toko yang terletak di ujung jalan tidak jauh dari kampusmu, kau dan aku sama-sama berlindung dari hujan. Hanya ada kau dan aku. Kau mengoceh betapa kau sangat membenci hujan. Kau bilang hujan selalu datang di saat-saat terburukmu. Seperti waktu itu, kau baru saja putus dari pacarmu. Kau diselingkuhi. Aku mendengarkan. Tidak tahu harus mengatakan apa.
***
Hari kedua hujan turun lagi. Kau dan aku masih berteduh di tempat yang sama. Hari itu berbeda. Kau tidak banyak bicara. Bahkan sama sekali.
“Masih benci hujan?” kuberanikan diri untuk bertanya.
Keheranan, kau menoleh ke arahku. Matamu bertemu dengan mataku. Kau lantas tersenyum. Masih tidak mengatakan apa-apa.
“Aku punya banyak waktu.” kataku lagi. “Aku tahu tempat minum kopi yang enak di dekat sini. Mungkin bisa sedikit membantumu melupakan hujan.”
“Darimana kau tahu aku suka minum kopi?”

Aku lantas mengulum senyum. Percayalah, aku tahu semua tentangmu, Panji.
***


Sejak itu kau dan aku sering bertemu disana. Menghabiskan waktu dari pagi hingga sore dengan bercerita tentang apa saja. Seperti wangi melati dari secangkir teh yang kuhirup, aku menikmati setiap jengkal pertemuan-pertemuanku denganmu. Kubiarkan kau lebih banyak bercerita. Karena aku tahu kau hanya butuh satu; didengar.
***
Pagi itu langit mendung. Tampakknya kau tak perduli. Kau mengajakku berkeliling. Barangkali benar kau sudah bosan dengan hanya duduk-duduk sembari menyeruput kopi yang seperti itu-itu saja. Kau kemudian mengajakku ke tempat dimana kau biasa bermain basket di dekat kompleks perumahan tempat tinggalmu.
Ya, kau memang begitu menggilai permainan basket seperti aku menggilaimu. Dari salah satu sudut lapangan, dapat kulihat dengan jelas sinarmu yang berkedip mengkilat sempurna. Mengharuskanku memicingkan sebelah mata setiap kali ingin menatapmu. Agaknya sekarang aku yang tak perduli jika pagi itu langit sedang kelabu. Langitku pun mendadak berubah oranye. Kau yang melukisnya.
***
Hari itu tanggal 15 Juli. Hari ulang tahunku. Aku sudah menyiapkan kue ulang tahun yang kubuat sendiri semalaman di rumah kontrakan tempatku tinggal. Kontrakan itu kecil. Hanya punya satu ruang tamu yang sempit. Telah kuhias dengan balon-balon warna-warni di setiap sudutnya. Aku ingin merayakannya berdua denganmu. Kuharap kau ingat hari ini. Kau sudah berjanji akan menghadiahkanku sesuatu yang manis. Lengkap dengan pita warna oranye diatasnya seperti kesukaanku. Aku juga merias wajahku. Memakai bedak dan lipstick. Mengatur rambut panjangku agar tampak rapi. Menanggalkan semua pakaian berwarna kelabu yang biasa kukenakan. Untuk hari ini, aku ingin terlihat sepertimu. Seperti pantulan sinar matahari dalam balutan gaun warna kuning oranye.
Namun kau tak pernah muncul. Membuatku menunggu hingga pagi. Tak juga ada kabar darimu yang bisa menjelaskan.
***
Hari-hariku berikutnya dipenuhi mendung tanpa mataharimu. Aku tak lagi ingin berteduh di depan toko tempat pertama kali kita bertemu saat hujan turun. Aku lebih suka menikmati hujan dan merasakan setiap titik-titiknya jatuh.
Aku melintas di depan kedai kopi dimana kita biasa bertemu. Rintik-rintik hujan tak lagi bisa kurasakan. Sesuatu seperti menghantamku. Cukup keras. Untuk sesaat aku merasa limbung. Tapi mataku dengan jelas menangkap bayanganmu berada disana. Duduk dengan seorang perempuan yang aku tidak tahu siapa.

Entahlah, aku merasa bodoh dan buruk mengharapkanmu sejauh ini.



To be continued...

Nona Manis dan Tuan Gerimis



Alkisah hiduplah Nona Manis dan Tuan Gerimis
Tuan Gerimis yang kesepian dan Nona Manis yang terus saja menangis
Hatinya gampang teriris
Aku ingat hari itu hari Kamis
Tuan Gerimis sedang melukis
Ditemani Nona yang sudah berhenti menangis
Kini hidungnya kembang kempis
Membuat geli Tuan Gerimis dengan kumisnya yang tipis-tipis

Tuesday, April 9, 2013

Antara Koma, Titik dan Tanda Tanya

Aku terjebak di antara kata-kata.
Tidak tahu hendak kemana, hendak melakukan apa.
Kata-kata ini, bagaimana aku harus merangkainya?
Harus kumulai darimana?
Disini? Disana? Atau malah di tengah, di antara keduanya?
Lalu bagaimana dengan akhirnya?
Harus kuakhiri dengan cara yang bagaimana?
Ada satu kata yang agaknya terlambat tercipta; "kita".
Kutemukan saat coba menyatukan kata "aku" dan "kamu".
Tapi kata itu tertambat disana. Cukup lama
Lalu, haruskah kuberi jeda dengan koma?
Atau, bagaimana jika kuakhiri dengan titik saja?
Bagaimanapun hal ini masih saja menyisakan tanda tanya.
Barangkali "aku", "kamu", atau "kita" tidak akan bisa menjawab.

Wednesday, January 23, 2013

Nanti

Summer Garden by Jennifer Young
Suatu pagi aku akan punya rumah sendiri. Rumah dengan banyak jendela agar cahaya matahari dapat menerobos masuk memenuhi seluruh ruangan.
Akan tumbuh pohon rindang disampingnya dengan sepetak kecil kebun penuh bunga-bunga matahari.
Anak-anakku akan sering bermain disana. Berkawan dengan kupu-kupu bersayap kuning.
Sementara aku akan sibuk di dapur menyiapkan makan malam dengan sepiring besar pai apel untuk suami dan anak-anakku, nanti...

Sunday, January 20, 2013

Be a Duck!

Pic from http://tridesignblog.blogspot.com/2012/07/the-ugly-duckling.html


Be a duck! Be a duck! Be a duck!” terdengar seperti sebuah mantra bagi saya. Barangkali sama seperti “All iz well” yang muncul dalam film, Three Idiots. Mantra itu selalu bisa menenangkan saya dalam tekanan apapun. Begitulah, setiap orang punya cara aneh sendiri untuk mengatasinya.

Saya adalah anak perempuan yang tumbuh besar dengan cerita dongeng. Berawal dari kegemaran mendengarkan dongeng dari almarhumah nenek saya, saya jadi kecanduan membaca dongeng. Orang tua saya sampai kewalahan memenuhi orderan buku dongeng yang saya minta.

Salah satu yang saya suka adalah cerita tentang “The Ugly Duckling”. Yah, saya rasa semua pernah mendengar atau membaca cerita ini. Ringan, namun sarat makna. Bagaimana tidak? Dongengnya mengisahkan seorang anak itik yang terlahir berbeda dengan saudara-saudaranya. 

Ketika saudara-saudaranya telah tumbuh menjadi angsa-angsa yang cantik dan pandai terbang, si itik bahkan belum bisa mengepakkan sayapnya. Membuatnya merasa terkucilkan, rendah diri sampai rasanya ingin mati.

Tidak salah memang jadi berbeda. Bagaimanapun Tuhan tidak pernah salah menciptakan. Semuanya patut disyukuri. Hanya kadang-kadang tidak banyak orang bisa melihat itu. Sebagian orang tetap tidak bisa menerima. Sebagian lagi masih mempertanyakan dan menganggap ada yang keliru.

Lantas, kenapa bila ada yang keliru? Bukankah Tuhan menciptakan kesalahan agar kita bisa belajar memperbaiki pada keesokan hari? Bukankah itu yang disebut tumbuh dewasa?

Seperti pada akhir cerita dalam kisah si itik buruk rupa dalam “The Ugly Duckling”, si itik kemudian tumbuh dan berubah menjadi angsa yang cantik. Jauh melebihi saudara-saudaranya. Pada akhirnya memang benar kan; Tuhan tidak pernah salah.

Once, be a duck!