Saturday, March 4, 2017

Ganang dan Payung Warna-Warni



Gambar dari Pinterest

Satu-satunya hal yang Ganang sukai adalah saat hujan turun. Hujan berarti rizki untuk Ganang dan emaknya yang sedang sakit. Paling tidak saat hujan turun Ganang dan emaknya bisa makan.
Ganang adalah bocah berusia sembilan tahun yang biasa membantu emaknya mengais rupiah sebagai penjual gorengan di terminal dekat rumah sebagai ojek payung. Kalau ditanya, Ganang jelas tidak mau terus-terusan jadi ojek payung. Cita-citanya adalah menjadi astronot, pilot, Superman atau apapun yang bisa terbang.
Tapi hari ini Ganang jelas tidak punya pilihan. Berbekal sebuah payung warna-warni, Ganang dan anak-anak sesama ojek payung berhamburan menuju terminal dan mulai menawarkan jasa ojek payung mereka. Bak Superhero, mereka melindungi calon penumpang yang hendak naik bus tanpa memperdulikan badan mereka yang basah kuyup diguyur hujan.
“Payungnya Bu, Pak? Bayar seikhlasnya aja Bu, Pak” teriak Ganang lantang. Diteriakkannya berkali-kali. Baru tujuh ribu uang yang dikantonginya. Tidak akan cukup untuk membeli beras dan obat buat emak.
Ganang tidak perduli walau suaranya timbul tenggelam dikalahkan suara hujan. Bagaimanapun, hal itu tidak akan bisa melampaui semangat Ganang untuk membantu emak. Ganang kembali teringat akan emaknya di rumah. Obat yang dia belikan dari warung dekat rumah nyatanya tidak bisa menurunkun panas demam emak. Sementara obat yang dijual di apotek cukup mahal. Meski bisa membeli obat, namun tidak akan ada apapun yang bisa disantap untuk mengganjal perut keduanya.

Ganang hanya berharap semoga hujan kali ini tidak pergi buru-buru.

15.05 WIB, 10 Januari, 2017.
Ditulis di Terminal Purabaya Bungurasih
-- saat hujan turun dan seorang anak datang menawarkan payung.

Wednesday, January 18, 2017

Semua Cuma Soal Waktu

Ada yang tidak biasa pagi ini. Padahal hujan masih saja turun seperti hari-hari kemarin. Aroma teh yang diseduh dari arah dapur juga tercium masih di jam 6 pagi disertai dengan obrolan kecil Ibu-Bapak tentang berita surat kabar terbitan hari ini.

Namun, beberapa hal yang kupikirkan sejak lama telah mengerucut mencapai klimaksnya.

Entah bagaimana, di suatu pagi di bulan Agustus sekitar dua tahun lalu aku mulai memikirkan kamu.
Memikirkan bagaimana agar kamu mau melihat ke arahku.

Pernah suatu kali aku memutuskan untuk berhenti. Namun kamu selalu punya alasan agar aku kembali. Berulang kali mencoba berhenti, lalu dibuat kembali lagi.
Berhenti lagi dan masih saja mau kembali.

Satu hal yang aku terlambat tahu (atau barangkali memang aku yang tak mau tahu); aku tidak pernah menjadi yang kamu pilih. Dengan aku sebagai opsi terakhir, kamu hanya datang ketika yang lain pergi.

Masih jam 6 pagi.

Setelah menyesap habis teh dalam cangkirku, terdengar suara mesin kendaraan mulai memasuki pekarangan rumah. Kuabaikan nasi goreng buatan Ibu di atas meja dan bergegas menuju pintu. "Jemputanku sudah datang", gumamku dalam hati.

Kau boleh anggap aku bodoh karena tidak tahu kapan harus berhenti. Tapi sekali-kali cobalah menyukai seseorang. Kau akan tahu bahwa perbuatan melawan cinta itu sia-sia.

Namun, sayangku...semua cuma soal waktu. Kau boleh membiarkan kembang-kembang itu mekar dalam hatimu. Toh, pada akhirnya akan gugur juga diterbangkan waktu. Lalu berganti dengan kuncup-kuncup baru.

Jadi kurasa, aku akan berdamai dengan waktu. Mengumpulkan keberanian untuk melepaskan tanpa berupaya menghalangi yang memang harus pergi dan membuka pintu bagi yang menunggu dengan senang hati.

Lalu aku bersiap membuka pintu dan memutar knopnya, "Oi, selamat pagi!"