Wednesday, January 18, 2017

Semua Cuma Soal Waktu

Ada yang tidak biasa pagi ini. Padahal hujan masih saja turun seperti hari-hari kemarin. Aroma teh yang diseduh dari arah dapur juga tercium masih di jam 6 pagi disertai dengan obrolan kecil Ibu-Bapak tentang berita surat kabar terbitan hari ini.

Namun, beberapa hal yang kupikirkan sejak lama telah mengerucut mencapai klimaksnya.

Entah bagaimana, di suatu pagi di bulan Agustus sekitar dua tahun lalu aku mulai memikirkan kamu.
Memikirkan bagaimana agar kamu mau melihat ke arahku.

Pernah suatu kali aku memutuskan untuk berhenti. Namun kamu selalu punya alasan agar aku kembali. Berulang kali mencoba berhenti, lalu dibuat kembali lagi.
Berhenti lagi dan masih saja mau kembali.

Satu hal yang aku terlambat tahu (atau barangkali memang aku yang tak mau tahu); aku tidak pernah menjadi yang kamu pilih. Dengan aku sebagai opsi terakhir, kamu hanya datang ketika yang lain pergi.

Masih jam 6 pagi.

Setelah menyesap habis teh dalam cangkirku, terdengar suara mesin kendaraan mulai memasuki pekarangan rumah. Kuabaikan nasi goreng buatan Ibu di atas meja dan bergegas menuju pintu. "Jemputanku sudah datang", gumamku dalam hati.

Kau boleh anggap aku bodoh karena tidak tahu kapan harus berhenti. Tapi sekali-kali cobalah menyukai seseorang. Kau akan tahu bahwa perbuatan melawan cinta itu sia-sia.

Namun, sayangku...semua cuma soal waktu. Kau boleh membiarkan kembang-kembang itu mekar dalam hatimu. Toh, pada akhirnya akan gugur juga diterbangkan waktu. Lalu berganti dengan kuncup-kuncup baru.

Jadi kurasa, aku akan berdamai dengan waktu. Mengumpulkan keberanian untuk melepaskan tanpa berupaya menghalangi yang memang harus pergi dan membuka pintu bagi yang menunggu dengan senang hati.

Lalu aku bersiap membuka pintu dan memutar knopnya, "Oi, selamat pagi!"