“Be a duck! Be a duck! Be a duck!” terdengar seperti sebuah mantra
bagi saya. Barangkali sama seperti “All
iz well” yang muncul dalam film, Three Idiots. Mantra itu selalu bisa
menenangkan saya dalam tekanan apapun. Begitulah, setiap orang punya cara aneh
sendiri untuk mengatasinya.
Saya adalah
anak perempuan yang tumbuh besar dengan cerita dongeng. Berawal dari kegemaran
mendengarkan dongeng dari almarhumah nenek saya, saya jadi kecanduan membaca
dongeng. Orang tua saya sampai kewalahan memenuhi orderan buku dongeng yang saya minta.
Salah
satu yang saya suka adalah cerita tentang “The
Ugly Duckling”. Yah, saya rasa semua pernah mendengar atau membaca cerita
ini. Ringan, namun sarat makna. Bagaimana tidak? Dongengnya mengisahkan seorang
anak itik yang terlahir berbeda dengan saudara-saudaranya.
Ketika
saudara-saudaranya telah tumbuh menjadi angsa-angsa yang cantik dan pandai
terbang, si itik bahkan belum bisa mengepakkan sayapnya. Membuatnya merasa
terkucilkan, rendah diri sampai rasanya ingin mati.
Tidak
salah memang jadi berbeda. Bagaimanapun Tuhan tidak pernah salah menciptakan.
Semuanya patut disyukuri. Hanya kadang-kadang tidak banyak orang bisa melihat
itu. Sebagian orang tetap tidak bisa menerima. Sebagian lagi masih
mempertanyakan dan menganggap ada yang keliru.
Lantas, kenapa
bila ada yang keliru? Bukankah Tuhan menciptakan kesalahan agar kita bisa
belajar memperbaiki pada keesokan hari? Bukankah itu yang disebut tumbuh
dewasa?
Seperti pada
akhir cerita dalam kisah si itik buruk rupa dalam “The
Ugly Duckling”, si itik kemudian tumbuh dan berubah menjadi angsa yang
cantik. Jauh melebihi saudara-saudaranya. Pada akhirnya memang benar kan; Tuhan tidak pernah salah.
Once, be a
duck!