Dengan enggan ak memeriksa kembali layar
ponselku. Memastikan benar kata-kata menyakitkan yang kau kirim beberapa menit
lalu itu nyata. Butuh waktu bagiku untuk kembali sadar setelah sempat limbung
selama sepersekian detik.
"Semoga kamu bahagia dan didekatkan dengan jodohnya..."
Aku meraba-raba kemana arah pembicaraan ini. Teringat akan kejadian
beberapa waktu lalu. Entah hari itu hari apa. Setelah menerima aksi ngambekmu
yang tidak biasa karena kepergianku yang mendadak selama sebulan ke Denpasar,
rupanya benar-benar membuat frustasi.
Lagipula aku ke Depansar bukan tanpa alasan. Kaupun tau benar alasannya. Aku
juga ingin pulang seandainya bisa. Kemudian entah bagaimana kau lalu menolak
untuk diajak bicara.
Tak perduli sekeras apapun aku mencoba untuk membuatmu bicara, yang ada hanya
aku yang lelah sendiri karena mencoba masuk kedalam tembok-tembok penolakan
yang kau bangun terlalu tinggi. Membuatku ingin menangis sampai geram.
Memantul-pukul rasanya.
Hari-hariku selanjutnya tinggal di Denpasar terasa tidak menyenangkan. Meski
sekeras apapun aku mencoba menjauhkan segala pikiran-pikiran tentang kamu,
tetap saja diammu yang menyebalkan itu memenuhi hampir setiap ruang dalam
kepalaku. Membuat kota ini, (setidaknya bagiku) menjadi
hanya-seluas-kotak-kecil-sel-penjara berukuran 3x4, dan aku terkurung di
dalamnya. Di dalam pikiran-pikiran tentang kamu.
Lalu kau muncul dalam pesan yang tiba-tiba. Masih clueless dengan pertanyaan
yang entah apa aku sendiri pun bisa menjawabnya; jadi, benarkah jarak bisa
menyesatkan seseorang sebegitu jauhnya?
Sunday, April 10, 2016
Wednesday, January 20, 2016
Menulislah dengan Hati
Pernah suatu kali dengan congkaknya aku menyebut diriku sebagai pencerita.
Aku biasa menuliskan hal-hal yang muncul dalam kepalaku untuk dikembangkan menjadi sebuah alur.
Sebagian besar memang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi.
Maksudku, ini benar-benar pernah kualami meski kadang aku suka menambahkan detail-detail kecil, tidak masuk akal didalamnya.
Semua kulakukan demi memenuhi peranku sebagai pencerita, bahwa menulis itu sebenarnya bebas. Seperti angin dan lautan.
Jadi kupikir sah-sah saja jika aku ingin menuliskan dalam ceritaku bahwa gajah itu sebenernya tuli, berhidung pendek dan berwarna jingga menyala.
Hingga tiba saatnya aku seperti dihempas belasan gulung ombak. Tidak terlalu besar, memang. Namun cukup menghanyutkan.
Wujudnya ada dalam kepalaku.
Terapung-apung lalu menyumbat tepat di sela lobang-lobang rongganya.
Membuatku tidak lagi bisa memikirkan gajah tuli berhidung pendek dengan warna jingganya yang menyala.
Ketika itu, aku tidak lagi selepas lautan.
Aku memikirkan diriku sebagai bulir air yang terperangkap dalam toples selai.
Tidak lagi dapat memuaskan diri sendiri.
Tulisanku seperti kehilangan nyawanya. Seperti Zombie. Hidup, tapi mati.
Sebagian besar menjadi sangat melankolis.
Mirip drama-drama picisan murahan.
Lalu aku memejamkan mataku.
Mencoba kembali menyelami dasar paling dalam kepalaku.
Berusaha menemukan apa yang salah. Siapa tahu bisa kucari cara memperbaikinya.
Dan diantara lekukan kerumitannya, (aku memang tidak pernah bisa memikirkan sesuatu dengan sederhana) kutemukan setumpuk memori.
Bentuknya seperti arsip yang tidak rapih.
Penuh coretan disana-sini. Namun, ditulis dengan tinta merah hati.
Cukup jadi mesin waktu paling canggih.
Bahwa aku (mungkin) pernah punya hati sedalam ini.
Malang, Januari 2016
Aku biasa menuliskan hal-hal yang muncul dalam kepalaku untuk dikembangkan menjadi sebuah alur.
Sebagian besar memang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi.
Maksudku, ini benar-benar pernah kualami meski kadang aku suka menambahkan detail-detail kecil, tidak masuk akal didalamnya.
Semua kulakukan demi memenuhi peranku sebagai pencerita, bahwa menulis itu sebenarnya bebas. Seperti angin dan lautan.
Jadi kupikir sah-sah saja jika aku ingin menuliskan dalam ceritaku bahwa gajah itu sebenernya tuli, berhidung pendek dan berwarna jingga menyala.
Hingga tiba saatnya aku seperti dihempas belasan gulung ombak. Tidak terlalu besar, memang. Namun cukup menghanyutkan.
Wujudnya ada dalam kepalaku.
Terapung-apung lalu menyumbat tepat di sela lobang-lobang rongganya.
Membuatku tidak lagi bisa memikirkan gajah tuli berhidung pendek dengan warna jingganya yang menyala.
Ketika itu, aku tidak lagi selepas lautan.
Aku memikirkan diriku sebagai bulir air yang terperangkap dalam toples selai.
Tidak lagi dapat memuaskan diri sendiri.
Tulisanku seperti kehilangan nyawanya. Seperti Zombie. Hidup, tapi mati.
Sebagian besar menjadi sangat melankolis.
Mirip drama-drama picisan murahan.
Lalu aku memejamkan mataku.
Mencoba kembali menyelami dasar paling dalam kepalaku.
Berusaha menemukan apa yang salah. Siapa tahu bisa kucari cara memperbaikinya.
Dan diantara lekukan kerumitannya, (aku memang tidak pernah bisa memikirkan sesuatu dengan sederhana) kutemukan setumpuk memori.
Bentuknya seperti arsip yang tidak rapih.
Penuh coretan disana-sini. Namun, ditulis dengan tinta merah hati.
Cukup jadi mesin waktu paling canggih.
Bahwa aku (mungkin) pernah punya hati sedalam ini.
Bahwa untuk menuliskan hal-hal baik, tidak saja pakai otak. Tapi juga hati.-- Indah
Malang, Januari 2016
Tulisan Pertama di Tahun Baru
Rasanya sudah lama sekali tidak menulis.
Terakhir menulis sepertinya November tahun lalu.
Giliran ingin menulis sesuatu malah tidak tahu harus menulis apa.
Sepertinya saya memang harus punya note kecil yang bisa dibawa kemana-mana.
Agar setiap momen dapat terekam dengan baik, meski cuma lewat kata-kata.
Agar tidak begitu saja menguap di kepala.
Sidoarjo, Januari 2016.
Terakhir menulis sepertinya November tahun lalu.
Giliran ingin menulis sesuatu malah tidak tahu harus menulis apa.
Sepertinya saya memang harus punya note kecil yang bisa dibawa kemana-mana.
Agar setiap momen dapat terekam dengan baik, meski cuma lewat kata-kata.
Agar tidak begitu saja menguap di kepala.
Sidoarjo, Januari 2016.
Subscribe to:
Posts (Atom)