Hari itu sekitar jam sebelas malam. Di
sebuah ruang makan kami bertiga duduk berhadapan. Sementara tangannya gemetar
melipat surat terakhir dari sekian banyak surat usang yang istrinya temukan di
depan pintu rumah mereka sore tadi. Wajahnya kian jatuh, tertunduk menahan
isak. Namun ia laki-laki, ia tak ingin menangis di depan istrinya. Sementara
istrinya menatapnya serius dengan setumpuk pertanyaan tentang surat-surat yang kami
tidak pernah tahu darimana datangnya.
Akupun yang semenjak tadi duduk disampingnya
ikut tertunduk. Tidak berani membuat gerakan sekecil apapun, bahkan hanya untuk
menarik nafas panjang.
“Siapa Dia?” suara istrinya memecah remang suara rintik hujan yang
semenjak sore tadi belum juga reda.
“Seseorang yang aku kenal di masa lalu.” Suaranya
masih saja tertahan. Aku bahkan sebenarnya tidak yakin pada apa yang sedang ia
pertahankan.
***
Sudah seminggu ini aku memperhatikanmu. Tidak sedetikpun rela kehilanganmu
dari pandangan. Jujur saja, ada desir hangat dalam dadaku setiap kali
menatapmu. Kau begitu terang seperti matahari. Begitu terangnya hingga
kadang-kadang cahayamu yang berpendar itu menyilaukanku. Membuatku tidak bisa
dekat-dekat lama denganmu. Membuatku hanya bisa melihatmu dari jauh. Barangkali
aku hanya takut cahaya terangmu itu kelak akan menyakitiku. Sama seperti yang
sebelum-sebelumnya.
***
Tahukah kau, aku terjebak begitu lama dalam kehidupan masa laluku.
Saat dimana senyummu itu ditujukan hanya untukku. Meski sempat menghilang
nyatanya aku tidak benar-benar pergi. Ada sesuatu yang menahanku untuk tetap
tinggal.
Tidak banyak yang tahu memang siapa aku. Seolah aku dilahirkan
sebagai penyendiri. Tidak pernah terlihat duduk semeja dengan seorang teman.
Selalu memilih tempat duduk paling belakang. Paling ujung. Sendiri.
Begitulah, sudah lama sekali sejak waktu itu. Aku tidak pernah
lagi merasa untuk bisa akrab dengan seseorang. Aku nyaris hampir tidak bisa
percaya jika sebuah hubungan, apapun itu murni tanpa pengkhianatan. Bukan,
bukan karena aku pernah dikhinati. Tapi justru akulah yang mengkhianati. Pernah
pada suatu malam kutinggalkan ia yang menungguku di masa lalu hanya untuk
menemui seorang yang lain. Orang yang tidak benar-benar punya cinta untukku.
Dan memang benar, pada akhirnya aku ditinggalkan oleh keduanya. Menyisakan
sebongkah penyesalan yang tidak putus-putus.
***
Masih ingatkah kau bagaimana kita bertemu? Di pelataran sebuah toko
yang terletak di ujung jalan tidak jauh dari kampusmu, kau dan aku
sama-sama berlindung dari hujan. Hanya ada kau dan aku. Kau mengoceh betapa kau
sangat membenci hujan. Kau bilang hujan selalu datang di saat-saat terburukmu.
Seperti waktu itu, kau baru saja putus dari pacarmu. Kau diselingkuhi. Aku
mendengarkan. Tidak tahu harus mengatakan apa.
***
Hari kedua hujan turun lagi. Kau dan aku masih berteduh di tempat
yang sama. Hari itu berbeda. Kau tidak banyak bicara. Bahkan sama sekali.
“Masih benci hujan?” kuberanikan diri untuk bertanya.
Keheranan, kau menoleh ke arahku. Matamu bertemu dengan mataku. Kau
lantas tersenyum. Masih tidak mengatakan apa-apa.
“Aku punya banyak waktu.” kataku lagi. “Aku tahu tempat minum kopi
yang enak di dekat sini. Mungkin bisa sedikit membantumu melupakan hujan.”
“Darimana kau tahu aku suka minum kopi?”
Aku lantas mengulum senyum. Percayalah,
aku tahu semua tentangmu, Panji.
***
Sejak itu kau dan aku sering bertemu disana. Menghabiskan waktu
dari pagi hingga sore dengan bercerita tentang apa saja. Seperti wangi melati
dari secangkir teh yang kuhirup, aku menikmati setiap jengkal
pertemuan-pertemuanku denganmu. Kubiarkan kau lebih banyak bercerita. Karena
aku tahu kau hanya butuh satu; didengar.
***
Pagi itu langit mendung. Tampakknya kau tak
perduli. Kau mengajakku berkeliling. Barangkali benar kau sudah bosan dengan
hanya duduk-duduk sembari menyeruput kopi yang seperti itu-itu saja. Kau
kemudian mengajakku ke tempat dimana kau biasa bermain basket di dekat kompleks
perumahan tempat tinggalmu.
Ya, kau memang begitu menggilai permainan
basket seperti aku menggilaimu. Dari salah satu sudut lapangan, dapat kulihat
dengan jelas sinarmu yang berkedip mengkilat sempurna. Mengharuskanku
memicingkan sebelah mata setiap kali ingin menatapmu. Agaknya sekarang aku yang
tak perduli jika pagi itu langit sedang kelabu. Langitku pun mendadak berubah
oranye. Kau yang melukisnya.
***
Hari itu tanggal 15 Juli. Hari ulang
tahunku. Aku sudah menyiapkan kue ulang tahun yang kubuat sendiri semalaman di
rumah kontrakan tempatku tinggal. Kontrakan itu kecil. Hanya punya satu ruang
tamu yang sempit. Telah kuhias dengan balon-balon warna-warni di setiap
sudutnya. Aku ingin merayakannya berdua denganmu. Kuharap kau ingat hari ini.
Kau sudah berjanji akan menghadiahkanku sesuatu yang manis. Lengkap dengan pita
warna oranye diatasnya seperti kesukaanku. Aku juga merias wajahku. Memakai
bedak dan lipstick. Mengatur rambut
panjangku agar tampak rapi. Menanggalkan semua pakaian berwarna kelabu yang biasa kukenakan. Untuk hari ini, aku ingin
terlihat sepertimu. Seperti pantulan sinar matahari dalam balutan gaun warna
kuning oranye.
Namun kau tak pernah muncul.
Membuatku menunggu hingga pagi. Tak juga ada kabar darimu yang bisa
menjelaskan.
***
Hari-hariku berikutnya dipenuhi
mendung tanpa mataharimu. Aku tak lagi ingin berteduh di depan toko tempat
pertama kali kita bertemu saat hujan turun. Aku lebih suka menikmati hujan dan
merasakan setiap titik-titiknya jatuh.
Aku melintas di depan kedai kopi
dimana kita biasa bertemu. Rintik-rintik hujan tak lagi bisa kurasakan. Sesuatu
seperti menghantamku. Cukup keras. Untuk sesaat aku merasa limbung. Tapi mataku
dengan jelas menangkap bayanganmu berada disana. Duduk dengan seorang perempuan
yang aku tidak tahu siapa.
Entahlah, aku merasa bodoh dan buruk mengharapkanmu sejauh ini.
To be continued...