Suatu
sore aku duduk sendirian di sebuah bangku yang terletak di taman kota. Kau mengagetkanku
dengan sebuah pelukan. Tidak tahu kau datang darimana. Kau sudah seperti hantu.
Muncul dengan tiba-tiba, lalu hilang sekelebat. Namun masih saja membayangi. Aku
bahkan masih mengharapkan ucapan selamat ulang tahun darimu. Sial! Padahal aku tahu betul pelukan itu
bukan untuk menyelamatiku. Jika bisa, aku memang berharap untuk tidak tahu saja.
“Namanya Hana. Aku akan menikahinya
bulan depan, Di. Kau datang ya?”
***
Sepanjang hari itu aku hanya duduk
menghadap keluar jendela kamarku. Memandangi hujan turun. Apa yang kau ucapkan
padaku kemarin sore memenuhi hampir seluruh isi kepalaku. Panji, aku merasa
seperti terjebak diantara kata-kata. Tidak tahu sekarang hendak menulis apa
lagi. Kata-kata ini, bagaimana aku harus merangkainya? Harus kumulai dari mana?
Disini? Disana? Atau malah ditengah, diantara keduanya? Lalu bagaimana dengan
akhirnya? Harus kuakhiri dengan cara yang bagaimana? Ada satu kata yang agaknya
terlambat tercipta, ‘kita’. Kutemukan saat coba menyatukan kata ‘aku’ dan
‘kau’. Tapi kata itu tertambat disana. Cukup lama. Haruskah kuberi jeda dengan
koma? Atau bagaimana jika kuakhiri saja dengan titik? Bagaimanapun hal ini
masih menyisakan tanda tanya. Barangkali aku, kau, atau kita tidak akan bisa
menjawab.
***
Aku memang tidak berhak atas apapun darimu. Tidak bisa menyalahkanmu
atas luka yang menjangkiti seluruh hati dan pikiranku. Tidak juga bisa
menyalahkan rasa yang kini terus tumbuh. Kusalahkan diamku, ketakutanku,
ketidakjujuranku dan, hujan. Entah
kenapa aku merasa seperti hujan. Hanya ada di saat-saat terburukmu.
Kalau benar cinta itu butuh pengakuan, bukan aku tidak mau mengakui. Aku hanya takut kau tidak menyukainya. Lalu kedekatan ini buyar selamanya.
Kini sudah ku tetapkan pilihanku. Akan kutempatkan tanda titik di
antara kata ‘aku’ dan ‘kau’. Akan kubawa rasa ini pergi menjauh. Bagaimanapun
luka ini harus pulih.
NB: Maaf aku tidak bisa datang bulan
depan.
***
Panji, bagaimana kabarmu? Sudah lama
aku tidak menulis surat untukmu. Tiga tahun kita tidak bertemu. Aku memang
sempat membubuhkan tanda titik untuk mengakhiri kisah ini. Namun nyatanya hal
itu tidak merubah apapun. Lukaku bahkan belum pulih. Sudah kuanggap sebagai bagian
dari diriku.
Diam-diam aku menyesali keputusanku meninggalkanmu. Mengingkari
kenyataan yang ada. Menghilang tanpa mengabarkan apa-apa. Kurasa tidak adil
bagimu. Setidaknya aku harus mengucapkan selamat tinggal, bukan?
Aku merindukanmu. Kalau kau bagaimana? Kuharap kau baik-baik saja.
***
“Itu yang Dia tulis dalam surat terakhirnya.” Panji berujar lirih.
“Jadi, maksudmu...perempuan ini menyukaimu?” sergah istrinya.
Ada kegamangan luar biasa yang
menyelimuti kami bertiga di ruangan itu. Kulihat Panji hanya mengusap-usap
wajahnya. Aku hampir saja ingin mengaku. Tidak lagi ingin berlari. Sudah
terlambat bagiku untuk menyangkal. Bagaimanapun, kami semua yang ada disini
tahu, aku yang menulisnya. Tapi aku
perempuan, sama halnya dengan istrinya. Tegakah aku?
Itulah yang membuat surat-suratku
tertahan begitu lama. Aku tidak punya keberanian untuk mengirimkannya pada
Panji. Aku takut keberadaan surat-suratku nanti hanya akan melukainya. Melukai
hati istrinya, dan tentu saja pernikahannya. Maka jadilah surat-surat itu
sebagai pelampiasan. Sebagai teman bicara.
Ada perasaan bersalah saat surat-surat itu sampai kemari. Sudah
lama sekali surat-surat itu tersuruk di laci meja kamarku. Aku bahkan sudah ingin
membuangnya. Entah bagaimana surat itu bisa ada di meja ini sekarang, bersamaku
sebagai penulisnya.
“Kau bahkan tidak pernah menceritakannya
padaku.”
“Andai aku tahu, Han.”
“Kalau kau tahu, apa kau menyesal?”
Aku tercekat. Kulihat Panji pun
sama. Tidak menyangka istrinya akan mengatakan hal seperti itu. Aku mengatupkan
bibirku rapat-rapat. Sedikit memejamkan mata. Bersiap untuk menerima apapun
yang akan Panji katakan.
Ia pun melepas kacamatanya. Berusaha
mengatur nafas. “Semua yang terjadi pada diri kita sekarang sudah digariskan.
Kalian bukan pilihan yang bisa aku pilih. Masing-masing memiliki tempat dan
arti sendiri bagiku.”
Aku tersenyum getir. Andai aku adalah Hana.
“Kalian sama-sama pentingnya buatku.
Tapi sekarang...kaulah masa depanku, Han.”
Hampir terdengar seperti sebuah
tamparan bagiku. Aku merasa tersudut dan kalah. Tapi apa lagi yang bisa
kuharapkan? Kuremas jariku berulang-ulang. Berusaha kembali pada kenyataan
dimana aku duduk sekarang. Perempuan cantik berjilbab yang ada dihadapanku saat
ini adalah istrinya. Masa depan Panji.
Kupaksakan senyumku. Ada sebentuk kekakuan disana. Ahh, actingku memang payah. Aku berusaha
mencari pegangan atas semua yang terjadi malam ini. Berusaha agar tidak jatuh.
Ya, satu-satunya hal terbaik yang aku dapatkan adalah; paling tidak Panji sudah tahu. Meski aku harus membiarkannya tahu
dengan cara seperti ini.
Hana mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku bajunya. “Ini datang
bersama surat-surat itu tadi siang.” ia pun menyerahkannya pada Panji.
Panji memakai kembali kacamatanya. Mengernyitkan kening sambil
sesekali membetulkan letak kacamatanya. Menatap istrinya dengan pandangan tak
percaya. Aku yang berada di sebelahnya ikut bertanya-tanya. Sepintas kulirik
tulisan yang ada disana; sebuah alamat. Alamat
siapa itu? Bukan alamat rumahku atau kontrakan lamaku. Lantas kenapa datang
bersama surat-suratku? Aku tidak ingat pernah menulisnya.
“Pergilah besok pagi.” katanya lagi. “Belum terlambat untuk
mengucapkan selamat tinggal.”
Aku tidak
mengerti.
Hana beranjak dari kursinya. Meninggalkan kami berdua,
dan...hujan.
“Betapa hujan selalu mengingatkan aku padamu. Tidak sekalipun
hujan turun tanpa aku memikirkanmu, Di.”
ucapnya lirih.
Tangisku pecah saat itu juga. Beradu dengan suara hujan di luar
sana. Aku tidak lagi ingin mengatakan apa-apa. Aku berhutang banyak pada hujan.
Dengan caranya, dia selalu berhasil membawaku kembali pada Panji. Menemani
untuk melewati saat-saat terburuknya, sekali lagi.
To be continued...