Kudapati kedua tanganku masih tertelungkup
diatas meja makan dengan kepalaku bersandar diatasnya. Rupanya aku tertidur.
Kulihat hari sudah pagi. Aku memandang keluar jendela. Mendung. Titik-titik air
bekas hujan tadi malam belum juga hilang. Hujan pagi ini masih saja menyisakan
rintik gerimis kecil. Bak sebuah pertanda, sayup-sayup kudengar suara deru
mobil Panji. Hendak pergi kemana dia?
Aku
bergegas keluar rumah. Tidak kulihat ada Hana disana. Barangkali dia masih
tidur. Terlalu pagi memang untuk bangun pada jam begini di hari Minggu. Panji sendiri
masih memanaskan mesin mobilnya. Bersiap akan pergi ke suatu tempat.
“Aku ikut.” kataku. “Terserah kau
ijinkan atau tidak.” Aku pun melompat naik ke dalam mobil dan menempatkan
diriku duduk di jok depan, disebelahnya. Diapun tampak tak keberatan.
Sepanjang perjalanan Panji hanya
diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ku urungkan niatku untuk
bertanya padanya mengenai kertas berisi alamat yang datang bersama surat-suratku
kemarin malam. “Akan ada banyak waktu untuk bertanya padanya nanti.” pikirku.
***
Mobil Panji kemudian berhenti pada
pelataran sebuah makam. Ia memarkirkan mobilnya disana.
“Untuk apa kita kesini?” tanyaku
cemas.
Tidak menjawab, Panji lantas
melepaskan ikatan sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil.
Aku mulai berdebar-debar. Firasatku
buruk. Apa yang
terjadi?
Aku memang tidak pernah menyukai tempat ini. Siapa yang suka? Aku
benci dengan segala bentuk perpisahan. Apalagi kematian. Tempat ini tak
gubahnya seperti tempat yang akan memaksamu menjadi orang yang ditinggalkan,
bukan meninggalkan. Akan terus menghantuimu dalam bentuk kenangan tentang
orang-orang yang kau cintai.
Aku memaksakan kakiku melangkah keluar dari mobil. Kulihat Panji
sudah jauh masuk ke dalam. Aku ragu. Terjebak pada pilihan antara menemaninya
masuk atau menunggunya saja disini.
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti jejak-jejak
kaki Panji yang tercetak diatas tanah becek bekas diguyur hujan. Aku mengkhawatirkannya. Aku khawatir hujan
masih menjadi peringatan bagi Panji akan kedatangan hari-hari terburuknya. Dan
saat itu terjadi aku ingin berada disana. Di sisinya.
Semakin masuk kedalam, semakin jelas kulihat ia tengah terpekur didepan
sebuah makam yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku. Dari balik jaket
kulitnya, ia mengeluarkan setangkai bunga mawar putih dan meletakkannya diatas
gundukan tanah merah dihadapannya.
Kudekati
ia perlahan-lahan. Ada
semacam guratan sedih yang nampak jelas kutangkap dari wajahnya. Kubaca
dengan hati-hati tiap deretan huruf-huruf kecil yang tertulis diatas
nisannya. Tertulis nama Kanadia disana.
*”Bunga mawar putih” melambangkan
cinta rahasia dan diam, kesungguhan dalam permohonan maaf, perwujudan rasa
simpati dan penghormatan untuk mengenang mendiang seseorang yang dikasihi,
serta dapat melambangkan awal yang baru atau sebagai tanda perpisahan.
No comments:
Post a Comment