Aku mulai menyukai dia, Matahari.
Bukan karena kecermelangan cahayanya. Justru cahayanya yang berpendar itu seringkali menyakiti mataku. Membuatku harus memicingkan sebelah mata tiap kali ingin menatapnya. Namun aku menikmati setiap prosesnya. Proses yang kusebut 'mencintai'. Dan, ya, aku mulai jatuh cinta pada Matahari, hingga muncul seorang yang lain diantara kami; Pagi.
Bukan karena kecermelangan cahayanya. Justru cahayanya yang berpendar itu seringkali menyakiti mataku. Membuatku harus memicingkan sebelah mata tiap kali ingin menatapnya. Namun aku menikmati setiap prosesnya. Proses yang kusebut 'mencintai'. Dan, ya, aku mulai jatuh cinta pada Matahari, hingga muncul seorang yang lain diantara kami; Pagi.
Sudah jadi kodrat masing-masing bahwa Pagi selalu datang lebih dulu. Dia
bertugas mengawali hari dan menjemput Matahari. Seperti jodoh yang ditakdirkan,
begitulah kisah Matahari dan Pagi dimulai. Kemudian mereka pun saling jatuh
cinta.
Aku yang merasa dicampakkan oleh Matahari merasa tidak pernah lebih
buruk dari ini. Bermodal sebentuk keyakinan berkelap-kelip; dengan catatan
sebentar nyala sebentar mati, dengan sabar aku menunggu Matahari kembali pulang
denganku. Dia sudah cukup jauh tersesat kukira.
Satu jam, tiga jam, tujuh jam aku masih menunggu dengan
sabar. Dan dengan sisa-sisa kesabaran yang kupunya, aku merasa Matahari sudah pergi
sedemikian tinggi.
Hingga sampailah aku di ujung hari. Cahayanya yang
berpendar itu kini tidak lagi bisa kurasakan menerpa wajahku. Kurasakan pipiku mulai basah. Bukan, bukan karena menangis. Barangkali kesabaranku telah melampaui
batas hingga aku tidak lagi ingin menangis. Tampaknya hujan mulai turun.
Diantara curah rintik hujan aku menatap langit. Tidak kulihat ada Matahari disana. Langit pun berubah kelabu. Lagipula sekarang bukan lagi Pagi hari. Pagi sudah pergi. Jadi kemana Pagi pergi? Apakan Pagi membawa pergi Matahari? Lalu kemana mereka pergi?
Diantara curah rintik hujan aku menatap langit. Tidak kulihat ada Matahari disana. Langit pun berubah kelabu. Lagipula sekarang bukan lagi Pagi hari. Pagi sudah pergi. Jadi kemana Pagi pergi? Apakan Pagi membawa pergi Matahari? Lalu kemana mereka pergi?
Segala pertanyaan bermunculan meracuni hati dan pikiranku. Membuatku
mengutuk diri sendiri yang tidak terlahir sebagai Pagi yang dicintai Matahari. Membuatku diam-diam ingin membunuh Matahari. Membuat tidak
seorangpun dari kami, aku atau Pagi yang akan memiliki Matahari.
Dengan sebilah pisau tergenggam di tangan dan diantara titik-titik kecil
hujan, kususuri setiap jalan mengikuti jejak-jejak Matahari. Hati dan pikiranku
sudah diselimuti oleh kabut. Membuatnya tidak lagi benar-benar jernih. Pun
gemuruh amarah dalam diri sudah tidak dapat reda terhapus hujan
sehari.
Kebencian telak menguasaiku.
Kebencian telak menguasaiku.
Hari itu berkabut. Langit masih tertutup awan mendung. Matahari pasti
bersembunyi di balik gumpalan awan-awan kelabu. Aku kemudian mempercepat
langkahku. Kutebas satu persatu awan yang menghalangi dengan
sebilah pisau yang kugenggam. Bagaimanapun akan kutemukan Matahari. Hidupnya
harus berakhir di tanganku.
Tidak butuh waktu lama. Cahayanya yang berpendar itu samar-samar mulai
terlihat menembus celah-celah awan yang tertebas olehku. Terendap-endah
aku mengintip melalui celah-celah kecil yang ada disana. Memastikan bahwa itu
benar cahaya Matahari.
Seperti ditikam dengan ujung kilatan ekor-ekor petir, aku melihat Matahari dan Pagi sedang bercumbu. Hatiku nanar bukan main. Hanya dengan sekali tebas
kuakhiri hidup sang Matahari. Darahnya mengucur begitu derasnya. Membasahi hampir
seluruh tubuhku. Pagi yang ketakutan menatapku dengan pandangan tak percaya. Matanya mengiba memohon
belas kasih. Memohon agar tidak dibunuh juga. Lalu kubiarkan dia pergi.
Kubiarkan dia menderita hidup tanpa Matahari.
Darahnya yang sedemikian banyak itu membuat langit berubah kemerahan. Awan-awan hitam sudah pergi. Kini hariku telah tiba. Kodratku
sebagai sore telah kujalani. Telah kutenggelamkan Matahari. Mengantarnya
sampai akhir. Membiarkan sisa-sisa jasadnya lenyap ditelan Malam.
agak2 curcol gitu yaa..
ReplyDeleteHahahah wah ketahuan ya. .
ReplyDelete"Aku kemudian mempercepat langkahku. Kutebas satu persatu gumpalan awan hitam yang menghalangi dengan sebilah pisau yang kugenggam. Bagaimanapun akan kutemukan Matahari. Hidupnya harus berakhir di tanganku." bagian ini seru! :D
ReplyDeleteTerima kasih :D
Delete