Aku tanya, pernahkah kamu memimpikan seseorang yang tidak kamu kenal? Berhari-hari? Apakah itu normal? Aku pernah. Aku ingat setiap kepingan mimpi-mimpinya. Tertata rapi, runtun membentuk suatu rangkaian alur cerita.
***
Sebut saja
hujan. Aku ingat pernah bertemu sekali dengannya di masa lalu. Hanya bertemu.
Tidak pernah kami berbincang sebelumnya. Hanya sesekali bertemu pandang.
Kemudian, lama
aku tidak bertemu hujan. Tentu aku sudah lupa sekarang. Tidak pernah sekalipun
aku memikirkannya. Bah, siapa yang perduli tentang hujan? Toh, kami tidak
saling kenal.
Hidupku dipenuhi
apapun selain hujan sejak itu. Sebut saja Kemarau, Semi, Gugur, Dingin dan
Salju adalah sahabat-sahabatku. Mengisi hari-hariku, menemani sepi-sepiku. Memenuhi
pikiranku.
Hingga hujan
kembali. Bau hujan membuatku ngantuk. Aku terlelap dan aku merasa aneh. Aku
memaksa terjaga. Rupanya aku mimpi. Mimpi tentang hujan.
***
Mimpi di hari
pertama; aku ingat saat itu sore hari. Bersama sahabat-sahabatku, Kemarau,
Semi, Gugur, Dingin dan Salju, aku sedang bermain. Lalu aku melihat seseorang
dari kejauhan. Dia hanya muncul begitu saja. Tidak menjauh, tidak juga
mendekat. “Hujan...”, bisikku.
***
Mimpi di hari
kedua; aku ingat saat itu sore hari. Aku berjalan di atas tanah penuh genangan
air. Becek dimana-mana. Seseorang membimbingku. Menggenggam tanganku. Namun,
aku tidak bisa melihat wajahnya. Dia berjalan memunggungiku. Tunggu, sepertinya
aku tahu siapa. “Ini, bau hujan...”, bisikku.
***
Mimpi di hari
ketiga; aku ingat saat itu masih sore hari. Aku berjalan di tengah keramaian.
Aku berjalan berlawanan arah seorang diri. Tidak tahu hendak kemana. Lalu aku
melihat buket-buket bunga mawar terpampang di ujung jalan sana. Ketika ku
dekati, aku ingin mengambil setangkai. Namun, tak satupun dapat ku ambil
tangkai dengan kelopak yang utuh.
Aku hampir putus
asa saat seseorang datang membawa setangkai bunga mawar kuning. Hmm...kuhirup
nafas dalam-dalam. “Bau ini...”. Bukan, bukan bau wangi bunga mawar. Tapi ini
adalah... “Bau...Hujan!”
Dan mawar kuning
itu dia berikan padaku, “Untukkmu.”
***
Mimpi di hari
keempat; aku ingat saat itu masih sore hari. Dan aku masih menggenggam mawar
kuning-ku. Kami duduk berdampingan memandang langit. Tiba-tiba dia mengulurkan
tangan, “Kita belum pernah kenalan. Sebut saja aku, Hujan.”
Aku menyambut
tangannya malu-malu, “Aku...sebut saja aku sore.”
Dia lantas
tersenyum. Senyumnya untukku.
***
Mimpi di hari
kelima: aku ingat saat itu tetap sore hari. Kami berjalan bergandengan tangan. Hujan
membawaku ke sebuah tempat. Tempat dimana mendung, petir dan pelangi berkumpul.
Tempat yang dia sebut rumah.
“Kelak jika kau
mencariku, kau akan menemukanku disini. Aku tidak akan kemana-mana.” Begitu
ucapnya padaku. Dia lantas tersenyum. Senyumnya untukku.
***
Mimpi di hari
keenam: aku ingat saat itu langit sudah hampir petang. Sudah tidak ada tempat
lagi bagi sore jika malam sudah datang menggantikan. Tapi aku sore yang nakal
ingin bertemu Hujan walau petang sudah datang. Malam yang geram berlari
mengejar dan hendak menangkapku. Seperti biasa dia akan mengadukanku pada ibu.
Aku berlari dan
berlari. Berharap akan menemukan jalan menuju rumah Hujan. Tapi aku tersesat. Tidak
tahu berada dimana. Sementara Malam semakin dekat. Aku bersembunyi dibalik gunung.
Aku menangis disana. Berharap Malam tidak akan menemukanku. Berharap Hujan akan
menemukanku.
***
Pada hari
ketujuh, kedelapan, kesembilan dan seterusnya aku berhenti memimpikan Hujan.
***
Bermimpi memang
mudah. Hanya perlu memejamkan mata untuk sampai kesana. Namun, akan menjadi
sulit jika disanalah satu-satunya Ruang Temu bagiku untuk bertemu.
~Fin~
Dari Sore untuk Hujan