Entah apakah
memang ada konspirasi atau hanya sekedar kebetulan untuk membujuk saya
kembali. Saya mendapat tugas prakarya dari sekolah untuk membuat lukisan. Kami
diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk menentukan tema atas lukisan apa
yang akan kami buat. Saya menatap kosong kanvas didepan saya. Persis seperti
kejadian sebelas tahun lalu. Tiba-tiba saja saya merasa gugup. Saya menggenggam
erat-erat kuasnya. Tidak tahu akan melukis apa. Lagi-lagi saya merasa kosong.
Bedanya sekarang saya tidak punya apapun untuk menutupi kekosongannya. Tanpa
ada pertimbangan apa-apa, saya melirik ke arah lukisan Bali yang terpampang di
salah satu sisi dinding ruang tamu kami. Seperti seseorang yang kesetanan saya pun
menyambar kuas dan mulai melukis.
Lukisan saya
belum kering saat ayah dan salah seorang kakak saya pulang, entah darimana.
Tanpa menunjukkan ekspresi terkejut, ayah hanya tersenyum memandangi lukisan
yang baru saya buat.
“Apa ini?
Kebakaran?”, komentar kakak saya.
Saya ikut
memandanginya, setuju bahwa dari jauh memang tidak tampak seperti langit pagi
tapi lebih terlihat seperti langit yang terbakar. Sungguh lukisan yang buruk.
Saya pun pergi.
Saya bangun
dengan malas keesokan harinya. Hari dimana lukisan itu harus dibawa dan
dikumpulkan. Setelah mandi dan berganti baju, tanpa berniat sarapan, saya mulai
mencari-cari kanvas lukisan saya. Tetap
masih dengan perasaan malas, saya menemukannya di teras depan. Seseorang telah
memindahkannya. Baru saja saya mau mengambilnya, saya sudah dibuat heran oleh
perubahan yang ada pada lukisan saya; langitnya.
Iya, langitnya. Walaupun tidak seindah lukisan aslinya, tapi langitnya sudah jauh lebih baik daripada langit yang kemarin saya buat. Tidak tampak seperti langit yang terbakar lagi. Saya tersenyum, kali ini tidak dengan perasaan malas. Terima kasih, Ayah.
Iya, langitnya. Walaupun tidak seindah lukisan aslinya, tapi langitnya sudah jauh lebih baik daripada langit yang kemarin saya buat. Tidak tampak seperti langit yang terbakar lagi. Saya tersenyum, kali ini tidak dengan perasaan malas. Terima kasih, Ayah.
No comments:
Post a Comment