Beranjak
remaja, keluarga saya kemudian memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar.
Memang, rumah yang kami tempati saat itu cukup kecil dengan bentuknya yang memanjang. Hanya ada 2
kamar tidur untuk lima anggota keluarga kami. Kedua kakak saya cukup dewasa.
Mereka sudah lulus kuliah. Mereka bukan lagi anak-anak yang bisa dibujuk untuk saling
berbagi kamar.
“Masing-masing butuh privasi”, begitu yang mereka bilang.
Saya sendiri tidur di kamar yang tidak cukup besar bertiga dengan kedua orang tua saya. Saya pun juga akan punya kamar sendiri setelah pindah nanti, tapi itu berarti saya harus meninggalkan koleksi buku-buku cerita saya. Terlalu banyak ibu bilang. Sebagian besar buku-buku itu sudah diberikan pada anak-anak sekitar rumah yang punya minat baca besar seperti saya dulu. Lagipula saya bukan anak-anak lagi. Sudah terlalu tua bagi saya untuk membaca kisah-kisah seperti itu lagi.
“Masing-masing butuh privasi”, begitu yang mereka bilang.
Saya sendiri tidur di kamar yang tidak cukup besar bertiga dengan kedua orang tua saya. Saya pun juga akan punya kamar sendiri setelah pindah nanti, tapi itu berarti saya harus meninggalkan koleksi buku-buku cerita saya. Terlalu banyak ibu bilang. Sebagian besar buku-buku itu sudah diberikan pada anak-anak sekitar rumah yang punya minat baca besar seperti saya dulu. Lagipula saya bukan anak-anak lagi. Sudah terlalu tua bagi saya untuk membaca kisah-kisah seperti itu lagi.
Berada di
tempat baru membuat saya harus memulai dari awal lagi. Saya seperti anak
perempuan sebelas tahun lalu. Masih malu-malu. Terlebih saya baru masuk SMA.
Saat itu saya duduk di ruang tamu rumah baru saya. Rumah besar dengan empat
kamar. Cukup untuk seluruh anggota keluarga saya. Saya memilih duduk di ruang
tamu karena tidak terlalu kenal dengan kamar tidur saya yang baru. Hanya ada
ranjang, meja belajar dan lemari pakaian disana. Tanpa rak buku, poster-poster
di dinding atau bahkan boneka. Cat temboknya masih putih, bersih. Saya lama
duduk disana sampai seseorang datang membawa sesuatu yang saya tangkap adalah
sebuah lukisan.
Yap, lukisan dari Bali yang bercerita tentang kegiatan masyarakat Bali bersetting pasar dengan langit pagi dan matahari terbit yang indah. Saya melongo. Ayah saya berlarian kecil ke depan pintu. Air mukanya berubah senang. Ayah saya memang mencintai lukisan. Biarpun tidak ahli dan tidak tahu betul tehnik-tehnik melukis, ayah menjadikannya sebuah hobi. Mungkin dari sanalah kecintaan saya pada menggambar berasal. Tapi saya sudah lama berhenti. Saat masuk Sekolah Dasar saya ingat ayah memanggil seorang guru privat menggambar agar saya mau kembali. Ujung-ujungnya, saya ngambek dan kabur. Bersembunyi di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah nenek saya. Saya menangis disana.
Yap, lukisan dari Bali yang bercerita tentang kegiatan masyarakat Bali bersetting pasar dengan langit pagi dan matahari terbit yang indah. Saya melongo. Ayah saya berlarian kecil ke depan pintu. Air mukanya berubah senang. Ayah saya memang mencintai lukisan. Biarpun tidak ahli dan tidak tahu betul tehnik-tehnik melukis, ayah menjadikannya sebuah hobi. Mungkin dari sanalah kecintaan saya pada menggambar berasal. Tapi saya sudah lama berhenti. Saat masuk Sekolah Dasar saya ingat ayah memanggil seorang guru privat menggambar agar saya mau kembali. Ujung-ujungnya, saya ngambek dan kabur. Bersembunyi di bawah pohon mangga di halaman belakang rumah nenek saya. Saya menangis disana.
Tbc...
No comments:
Post a Comment