Saya
dilahirkan sebagai satu-satunya anak perempuan terkecil dalam keluarga.
Kenyataan bahwa saya terlahir selisih sepuluh tahun dari kakak kedua saya membuat saya
selalu bersembunyi di bawah ketiak kedua orang tua dan kedua kakak laki-laki
saya.
Sejak kecil saya banyak sakit. Saya hampir setiap hari keluar masuk rumah
sakit. Namun diluar penyakit-penyakit itu, satu yang membuat orang tua saya
khawatir; saya menderita penyakit malu
stadium empat. Ketidakpercayaan diri saya mengalahkan saya dalam banyak
hal. Saya bahkan menolak berbicara pada orang yang tidak saya kenal. Hingga
saya ingat bertemu dengan seorang wanita di rumah sakit pagi itu.
Kami duduk
berhadapan dipisahkan meja kayu dengan banyak boneka dan mainan di
dekat jendela. Saya melihat sekeliling. Ada banyak rak berisi boneka dan mainan
disana, tapi saya tidak merasa senang. Saya mulai menggenggam erat tangan ibu disebelah saya. Saat itu saya masih belum genap 5 tahun. Saya tidak
banyak ingat tentang apa-apa yang wanita itu tanyakan pada saya. Yang saya
ingat saya tidak menjawab satu pertanyaan pun.
Sepanjang pembicaraan itu saya
hanya menggambar dan terus menggambar gambar yang sama; seorang
perempuan cantik berambut panjang dengan mahkota yang gemerlapan dan tentu saja, bergaun indah.
Barangkali benar itu adalah gambar seorang Putri Raja dalam dunia dongeng. Sejak kecil saya memang banyak mendengar cerita dongeng dari almarhumah nenek saya. Dari sanalah saya
mulai mencintai dongeng dan diam-diam mulai menggambar tokoh wanita utamanya.
Kenapa hanya tokoh wanita? Saya juga tidak
tahu.
Wanita itu kemudian mulai sering mengunjungi saya dirumah. Masih tetap menggambar dan tidak berbicara, dia mulai melihat gambar-gambar yang saya buat. Dia lantas meminta saya membuatkannya sebuah. Dia bilang dia menyukai gambar-gambar saya. Saya tidak menolak, saya memang suka menggambar. Saya bahkan mewarnainya. Pelan-pelan saya mulai menyukai wanita itu.
Tapi itu tidak lama.
Suatu ketika saya mendengar wanita itu mulai membujuk ibu saya untuk mendaftarkan nama saya pada sebuah perlombaan menggambar. Hari perlombaan tiba. Saya duduk disana. Sendiri. Saya celingukan mencari-cari dimana ibu saya. Kertas di depan saya masih kosong. Pensil-pensil warna juga diam tak tersentuh. Saya mulai menangis. Saya mau ibu saya. Saya mau pulang dan saya berhenti menggambar.
Wanita itu kemudian mulai sering mengunjungi saya dirumah. Masih tetap menggambar dan tidak berbicara, dia mulai melihat gambar-gambar yang saya buat. Dia lantas meminta saya membuatkannya sebuah. Dia bilang dia menyukai gambar-gambar saya. Saya tidak menolak, saya memang suka menggambar. Saya bahkan mewarnainya. Pelan-pelan saya mulai menyukai wanita itu.
Tapi itu tidak lama.
Suatu ketika saya mendengar wanita itu mulai membujuk ibu saya untuk mendaftarkan nama saya pada sebuah perlombaan menggambar. Hari perlombaan tiba. Saya duduk disana. Sendiri. Saya celingukan mencari-cari dimana ibu saya. Kertas di depan saya masih kosong. Pensil-pensil warna juga diam tak tersentuh. Saya mulai menangis. Saya mau ibu saya. Saya mau pulang dan saya berhenti menggambar.
To be continues...
No comments:
Post a Comment