Wednesday, January 31, 2018

Mari Bertumbuh!

Pagi ini hari pertama di bulan Januari, setelah mematut diri begitu lama dalam pantulan cermin kamar mandi – masih dengan busa pasta gigi yang menempel – saya jadi kepikiran banyak hal. Tiba-tiba saja kilatan masa lalu kembali membekas di kepala. Tapi saya disini bukan untuk menuliskan tentang hal-hal itu. Ada hal lain yang ingin saya bagi.

Tentang bertumbuh.

Tahun lalu banyak hal terjadi yang membuat saya hampir – saja – mati karena terlalu girangnya atau justru karena perasaan sedih yang datang begitu tiba-tiba. Kondisi yang naik-turun begitu seharusnya sudah biasa. Saya hanya harus bersiap dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Bagaimanapun harus saya hadapi.

Sejujurnya, saya tidak tahu benar definisi bertumbuh, yang saya tahu, saya mulai bisa ‘menerima’. Memang tidak dalam semua hal. Mungkin hanya beberapa (oh, ayolah, saya bukan manusia sesempurna itu!). Selebihnya, saya masih mencoba untuk tidak cepat menggerutu pada hal-hal yang tidak saya harapkan terjadi. Mencoba untuk lebih banyak senyum dan legowo.

Namun, yang terpenting, saya rasa adalah tentang bagaimana kita bisa berdamai dengan diri sendiri. It was funny karena kadang-kadang yang berbahaya itu datanganya justru dari dalam kepala kita sendiri. It turns out into fears, anxieties and insecurities. Menyeret kita begitu dekat dengan kebencian, ketidakpercayaan dan segala bentuk perasaan-perasaan negatif lainnya.

Saya jadi lupa kalau saya juga harus mengerti.

Hari ini saya mau tumbuh dengan lebih baik lagi. Doakan saya, ya?


Surabaya, Januari 2018
- Nona -

Saturday, March 4, 2017

Ganang dan Payung Warna-Warni



Gambar dari Pinterest

Satu-satunya hal yang Ganang sukai adalah saat hujan turun. Hujan berarti rizki untuk Ganang dan emaknya yang sedang sakit. Paling tidak saat hujan turun Ganang dan emaknya bisa makan.
Ganang adalah bocah berusia sembilan tahun yang biasa membantu emaknya mengais rupiah sebagai penjual gorengan di terminal dekat rumah sebagai ojek payung. Kalau ditanya, Ganang jelas tidak mau terus-terusan jadi ojek payung. Cita-citanya adalah menjadi astronot, pilot, Superman atau apapun yang bisa terbang.
Tapi hari ini Ganang jelas tidak punya pilihan. Berbekal sebuah payung warna-warni, Ganang dan anak-anak sesama ojek payung berhamburan menuju terminal dan mulai menawarkan jasa ojek payung mereka. Bak Superhero, mereka melindungi calon penumpang yang hendak naik bus tanpa memperdulikan badan mereka yang basah kuyup diguyur hujan.
“Payungnya Bu, Pak? Bayar seikhlasnya aja Bu, Pak” teriak Ganang lantang. Diteriakkannya berkali-kali. Baru tujuh ribu uang yang dikantonginya. Tidak akan cukup untuk membeli beras dan obat buat emak.
Ganang tidak perduli walau suaranya timbul tenggelam dikalahkan suara hujan. Bagaimanapun, hal itu tidak akan bisa melampaui semangat Ganang untuk membantu emak. Ganang kembali teringat akan emaknya di rumah. Obat yang dia belikan dari warung dekat rumah nyatanya tidak bisa menurunkun panas demam emak. Sementara obat yang dijual di apotek cukup mahal. Meski bisa membeli obat, namun tidak akan ada apapun yang bisa disantap untuk mengganjal perut keduanya.

Ganang hanya berharap semoga hujan kali ini tidak pergi buru-buru.

15.05 WIB, 10 Januari, 2017.
Ditulis di Terminal Purabaya Bungurasih
-- saat hujan turun dan seorang anak datang menawarkan payung.

Wednesday, January 18, 2017

Semua Cuma Soal Waktu

Ada yang tidak biasa pagi ini. Padahal hujan masih saja turun seperti hari-hari kemarin. Aroma teh yang diseduh dari arah dapur juga tercium masih di jam 6 pagi disertai dengan obrolan kecil Ibu-Bapak tentang berita surat kabar terbitan hari ini.

Namun, beberapa hal yang kupikirkan sejak lama telah mengerucut mencapai klimaksnya.

Entah bagaimana, di suatu pagi di bulan Agustus sekitar dua tahun lalu aku mulai memikirkan kamu.
Memikirkan bagaimana agar kamu mau melihat ke arahku.

Pernah suatu kali aku memutuskan untuk berhenti. Namun kamu selalu punya alasan agar aku kembali. Berulang kali mencoba berhenti, lalu dibuat kembali lagi.
Berhenti lagi dan masih saja mau kembali.

Satu hal yang aku terlambat tahu (atau barangkali memang aku yang tak mau tahu); aku tidak pernah menjadi yang kamu pilih. Dengan aku sebagai opsi terakhir, kamu hanya datang ketika yang lain pergi.

Masih jam 6 pagi.

Setelah menyesap habis teh dalam cangkirku, terdengar suara mesin kendaraan mulai memasuki pekarangan rumah. Kuabaikan nasi goreng buatan Ibu di atas meja dan bergegas menuju pintu. "Jemputanku sudah datang", gumamku dalam hati.

Kau boleh anggap aku bodoh karena tidak tahu kapan harus berhenti. Tapi sekali-kali cobalah menyukai seseorang. Kau akan tahu bahwa perbuatan melawan cinta itu sia-sia.

Namun, sayangku...semua cuma soal waktu. Kau boleh membiarkan kembang-kembang itu mekar dalam hatimu. Toh, pada akhirnya akan gugur juga diterbangkan waktu. Lalu berganti dengan kuncup-kuncup baru.

Jadi kurasa, aku akan berdamai dengan waktu. Mengumpulkan keberanian untuk melepaskan tanpa berupaya menghalangi yang memang harus pergi dan membuka pintu bagi yang menunggu dengan senang hati.

Lalu aku bersiap membuka pintu dan memutar knopnya, "Oi, selamat pagi!"

Sunday, April 10, 2016

Clueless

Dengan enggan ak memeriksa kembali layar ponselku. Memastikan benar kata-kata menyakitkan yang kau kirim beberapa menit lalu itu nyata. Butuh waktu bagiku untuk kembali sadar setelah sempat limbung selama sepersekian detik.

"Semoga kamu bahagia dan didekatkan dengan jodohnya..."

Aku meraba-raba kemana arah pembicaraan ini. Teringat akan kejadian beberapa waktu lalu. Entah hari itu hari apa. Setelah menerima aksi ngambekmu yang tidak biasa karena kepergianku yang mendadak selama sebulan ke Denpasar, rupanya benar-benar membuat frustasi.

Lagipula aku ke Depansar bukan tanpa alasan. Kaupun tau benar alasannya. Aku juga ingin pulang seandainya bisa. Kemudian entah bagaimana kau lalu menolak untuk diajak bicara.

Tak perduli sekeras apapun aku mencoba untuk membuatmu bicara, yang ada hanya aku yang lelah sendiri karena mencoba masuk kedalam tembok-tembok penolakan yang kau bangun terlalu tinggi. Membuatku ingin menangis sampai geram. Memantul-pukul rasanya.

Hari-hariku selanjutnya tinggal di Denpasar terasa tidak menyenangkan. Meski sekeras apapun aku mencoba menjauhkan segala pikiran-pikiran tentang kamu, tetap saja diammu yang menyebalkan itu memenuhi hampir setiap ruang dalam kepalaku. Membuat kota ini, (setidaknya bagiku) menjadi hanya-seluas-kotak-kecil-sel-penjara berukuran 3x4, dan aku terkurung di dalamnya. Di dalam pikiran-pikiran tentang kamu.

Lalu kau muncul dalam pesan yang tiba-tiba. Masih clueless dengan pertanyaan yang entah apa aku sendiri pun bisa menjawabnya; jadi, benarkah jarak bisa menyesatkan seseorang sebegitu jauhnya?

Wednesday, January 20, 2016

Menulislah dengan Hati

Pernah suatu kali dengan congkaknya aku menyebut diriku sebagai pencerita.
Aku biasa menuliskan hal-hal yang muncul dalam kepalaku untuk dikembangkan menjadi sebuah alur.
Sebagian besar memang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi.
Maksudku, ini benar-benar pernah kualami meski kadang aku suka menambahkan detail-detail kecil, tidak masuk akal didalamnya.
Semua kulakukan demi memenuhi peranku sebagai pencerita, bahwa menulis itu sebenarnya bebas. Seperti angin dan lautan.
Jadi kupikir sah-sah saja jika aku ingin menuliskan dalam ceritaku bahwa gajah itu sebenernya tuli, berhidung pendek dan berwarna jingga menyala.
Hingga tiba saatnya aku seperti dihempas belasan gulung ombak. Tidak terlalu besar, memang. Namun cukup menghanyutkan.
Wujudnya ada dalam kepalaku.
Terapung-apung lalu menyumbat tepat di sela lobang-lobang rongganya.
Membuatku tidak lagi bisa memikirkan gajah tuli berhidung pendek dengan warna jingganya yang menyala.
Ketika itu, aku tidak lagi selepas lautan.
Aku memikirkan diriku sebagai bulir air yang terperangkap dalam toples selai.
Tidak lagi dapat memuaskan diri sendiri.
Tulisanku seperti kehilangan nyawanya. Seperti Zombie. Hidup, tapi mati.
Sebagian besar menjadi sangat melankolis.
Mirip drama-drama picisan murahan.
Lalu aku memejamkan mataku.
Mencoba kembali menyelami dasar paling dalam kepalaku.
Berusaha menemukan apa yang salah. Siapa tahu bisa kucari cara memperbaikinya.
Dan diantara lekukan kerumitannya, (aku memang tidak pernah bisa memikirkan sesuatu dengan sederhana) kutemukan setumpuk memori.
Bentuknya seperti arsip yang tidak rapih.
Penuh coretan disana-sini. Namun, ditulis dengan tinta merah hati.
Cukup jadi mesin waktu paling canggih.
Bahwa aku (mungkin) pernah punya hati sedalam ini.

Bahwa untuk menuliskan hal-hal baik, tidak saja pakai otak. Tapi juga hati.-- Indah

Malang, Januari 2016

Tulisan Pertama di Tahun Baru

Rasanya sudah lama sekali tidak menulis.
Terakhir menulis sepertinya November tahun lalu.
Giliran ingin menulis sesuatu malah tidak tahu harus menulis apa.
Sepertinya saya memang harus punya note kecil yang bisa dibawa kemana-mana.
Agar setiap momen dapat terekam dengan baik, meski cuma lewat kata-kata.
Agar tidak begitu saja menguap di kepala.

Sidoarjo, Januari 2016.

Monday, November 30, 2015

Buntu



Kenapa harus aku yang jatuh cinta padamu berkali-kali?
I ever loved you once. It continues.
And I wish you knew...
 
Ada banyak pertanyaan tentang kamu.
Tentang siapa kamu?
Berapa usiamu?
Warna favorite-mu?
Bagaimana dengan buku favorite-mu?
Masih ingin jadi penulis?
Masih suka main gitar?
Lagu apa yang kau suka?
Kalau kopi?
Makanan kesukaanmu?
Lelah tidak setelah pulang bekerja sore ini?
Kenapa diam saja dalam kepalaku?

Lantas, bagaimana aku bisa jatuh cinta?
Padahal aku tidak tahu apa-apa tentang kamu.

Aku tidak tahu.
Aku buntu.
Mungkin aku butuh kamu.

Wednesday, August 20, 2014

Ketika Tiba Musimnya Jatuh Cinta



gambar dari google


Halo, apa kabar tuan yang pada hari minggu lalu duduk berhadapan denganku?

Bulan ini bulan Agustus. Sepertinya sudah tiba musimnya jatuh cinta. Tidakkah tuan ingin jatuh cinta lagi? Sejak pertama bertemu tuan, nona merasa begitu jatuh cinta.

***



Matahari baru saja tenggelam. Sepanjang jalan tampak kerlip lampu mengedip-ngedip lucu. Di sebuah cafe, aku menunggumu di salah satu sudut ruangan. Bosan.


Teh pesananku sudah habis ku sesap sambil sesekali memeriksa layar ponselku. Menunggu kabar darimu.


Namun tak ada kabar.


Memasuki cangkir yang kedua. Aku gelisah sepanjang waktu. Berulang kali melongok keluar jendela. Berharap kamu cepat datang. Teh dalam cangkirku hampir dingin.


Jangan-jangan kamu sengaja ingin membuatku menunggu. Huh!


Bip...bip." rupanya ponselku berbunyi.


Dengan gugup kuperiksa kembali layar ponselku. Isinya sebuah pesan singkat, “Tunggu, ya. Lagi di jalan.”


Aku memucat. Mendadak tanganku berubah dingin. Bukankah ini yang sejak tadi aku tunggu? Dan...ya Tuhan! Seperti apa rupaku sekarang? Apakah rambutku berantakan? Bagaimana dengan maskara-ku? Kuharap sih, tidak luntur.


Tiba-tiba aku merasa ngeri membayangkan pertemuanku denganmu. Akan seperti apa rasanya berbagi meja ini denganmu? Seperti apa rasanya bertatap muka denganmu, melihat jelas warna bola matamu atau bentuk hidungmu?


Dan...senyum-mu, semoga saja tidak sampai membuatku sakit gigi.


Lalu kamu datang dari arah pintu. Tersenyum dan menujuku.


Duh, aku deg-degan!