Tuesday, May 7, 2013

Dari Hujan kepada Matahari #Part3

Kudapati kedua tanganku masih tertelungkup diatas meja makan dengan kepalaku bersandar diatasnya. Rupanya aku tertidur. Kulihat hari sudah pagi. Aku memandang keluar jendela. Mendung. Titik-titik air bekas hujan tadi malam belum juga hilang. Hujan pagi ini masih saja menyisakan rintik gerimis kecil. Bak sebuah pertanda, sayup-sayup kudengar suara deru mobil Panji. Hendak pergi kemana dia?
Aku bergegas keluar rumah. Tidak kulihat ada Hana disana. Barangkali dia masih tidur. Terlalu pagi memang untuk bangun pada jam begini di hari Minggu. Panji sendiri masih memanaskan mesin mobilnya. Bersiap akan pergi ke suatu tempat.
“Aku ikut.” kataku. “Terserah kau ijinkan atau tidak.” Aku pun melompat naik ke dalam mobil dan menempatkan diriku duduk di jok depan, disebelahnya. Diapun tampak tak keberatan.
Sepanjang perjalanan Panji hanya diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ku urungkan niatku untuk bertanya padanya mengenai kertas berisi alamat yang datang bersama surat-suratku kemarin malam. “Akan ada banyak waktu untuk bertanya padanya nanti.” pikirku.
***
Mobil Panji kemudian berhenti pada pelataran sebuah makam. Ia memarkirkan mobilnya disana.
 
“Untuk apa kita kesini?” tanyaku cemas.
Tidak menjawab, Panji lantas melepaskan ikatan sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil.
Aku mulai berdebar-debar. Firasatku buruk. Apa yang terjadi?
Aku memang tidak pernah menyukai tempat ini. Siapa yang suka? Aku benci dengan segala bentuk perpisahan. Apalagi kematian. Tempat ini tak gubahnya seperti tempat yang akan memaksamu menjadi orang yang ditinggalkan, bukan meninggalkan. Akan terus menghantuimu dalam bentuk kenangan tentang orang-orang yang kau cintai.

Aku memaksakan kakiku melangkah keluar dari mobil. Kulihat Panji sudah jauh masuk ke dalam. Aku ragu. Terjebak pada pilihan antara menemaninya masuk atau menunggunya saja disini.
 
Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti jejak-jejak kaki Panji yang tercetak diatas tanah becek bekas diguyur hujan. Aku mengkhawatirkannya. Aku khawatir hujan masih menjadi peringatan bagi Panji akan kedatangan hari-hari terburuknya. Dan saat itu terjadi aku ingin berada disana. Di sisinya.
Semakin masuk kedalam, semakin jelas kulihat ia tengah terpekur didepan sebuah makam yang sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku. Dari balik jaket kulitnya, ia mengeluarkan setangkai bunga mawar putih dan meletakkannya diatas gundukan tanah merah dihadapannya.
 
Kudekati ia perlahan-lahan. Ada semacam guratan sedih yang nampak jelas kutangkap dari wajahnya. Kubaca dengan hati-hati tiap deretan huruf-huruf kecil yang tertulis diatas nisannya. Tertulis nama Kanadia disana.
Namaku.


 
*”Bunga mawar putih” melambangkan cinta rahasia dan diam, kesungguhan dalam permohonan maaf, perwujudan rasa simpati dan penghormatan untuk mengenang mendiang seseorang yang dikasihi, serta dapat melambangkan awal yang baru atau sebagai tanda perpisahan.

No comments:

Post a Comment