Sunday, November 18, 2012

Terima Kasih, Ayah




Entah apakah memang ada konspirasi atau hanya sekedar kebetulan untuk membujuk saya kembali. Saya mendapat tugas prakarya dari sekolah untuk membuat lukisan. Kami diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk menentukan tema atas lukisan apa yang akan kami buat. Saya menatap kosong kanvas didepan saya. Persis seperti kejadian sebelas tahun lalu. Tiba-tiba saja saya merasa gugup. Saya menggenggam erat-erat kuasnya. Tidak tahu akan melukis apa. Lagi-lagi saya merasa kosong. Bedanya sekarang saya tidak punya apapun untuk menutupi kekosongannya. Tanpa ada pertimbangan apa-apa, saya melirik ke arah lukisan Bali yang terpampang di salah satu sisi dinding ruang tamu kami. Seperti seseorang yang kesetanan saya pun menyambar kuas dan mulai melukis.

Lukisan saya belum kering saat ayah dan salah seorang kakak saya pulang, entah darimana. Tanpa menunjukkan ekspresi terkejut, ayah hanya tersenyum memandangi lukisan yang baru saya buat.

“Apa ini? Kebakaran?”, komentar kakak saya.

Saya ikut memandanginya, setuju bahwa dari jauh memang tidak tampak seperti langit pagi tapi lebih terlihat seperti langit yang terbakar. Sungguh lukisan yang buruk. Saya pun pergi.

Saya bangun dengan malas keesokan harinya. Hari dimana lukisan itu harus dibawa dan dikumpulkan. Setelah mandi dan berganti baju, tanpa berniat sarapan, saya mulai mencari-cari kanvas lukisan saya.  Tetap masih dengan perasaan malas, saya menemukannya di teras depan. Seseorang telah memindahkannya. Baru saja saya mau mengambilnya, saya sudah dibuat heran oleh perubahan yang ada pada lukisan saya; langitnya.

Iya, langitnya. Walaupun tidak seindah lukisan aslinya, tapi langitnya sudah jauh lebih baik daripada langit yang kemarin saya buat. Tidak tampak seperti langit yang terbakar lagi. Saya tersenyum, kali ini tidak dengan perasaan malas. Terima kasih, Ayah.

No comments:

Post a Comment