Friday, December 7, 2012

Membunuh Matahari




Aku mulai menyukai dia, Matahari.

Bukan karena kecermelangan cahayanya. Justru cahayanya yang berpendar itu seringkali menyakiti mataku. Membuatku harus memicingkan sebelah mata tiap kali ingin menatapnya. Namun aku menikmati setiap prosesnya. Proses yang kusebut 'mencintai'. Dan, ya, aku mulai jatuh cinta pada Matahari, hingga muncul seorang yang lain diantara kami; Pagi.

Sudah jadi kodrat masing-masing bahwa Pagi selalu datang lebih dulu. Dia bertugas mengawali hari dan menjemput Matahari. Seperti jodoh yang ditakdirkan, begitulah kisah Matahari dan Pagi dimulai. Kemudian mereka pun saling jatuh cinta.

Aku yang merasa dicampakkan oleh Matahari merasa tidak pernah lebih buruk dari ini. Bermodal sebentuk keyakinan berkelap-kelip; dengan catatan sebentar nyala sebentar mati, dengan sabar aku menunggu Matahari kembali pulang denganku. Dia sudah cukup jauh tersesat kukira.

Satu jam, tiga jam, tujuh jam aku masih menunggu dengan sabar. Dan dengan sisa-sisa kesabaran yang kupunya, aku merasa Matahari sudah pergi sedemikian tinggi.

Hingga sampailah aku di ujung hari. Cahayanya yang berpendar itu kini tidak lagi bisa kurasakan menerpa wajahku. Kurasakan pipiku mulai basah. Bukan, bukan karena menangis. Barangkali kesabaranku telah melampaui batas hingga aku tidak lagi ingin menangis. Tampaknya hujan mulai turun.

Diantara curah rintik hujan aku menatap langit. Tidak kulihat ada Matahari disana. Langit pun berubah kelabu. Lagipula sekarang bukan lagi Pagi hari. Pagi sudah pergi. Jadi kemana Pagi pergi? Apakan Pagi membawa pergi Matahari? Lalu kemana mereka pergi?

Segala pertanyaan bermunculan meracuni hati dan pikiranku. Membuatku mengutuk diri sendiri yang tidak terlahir sebagai Pagi yang dicintai Matahari. Membuatku diam-diam ingin membunuh Matahari. Membuat tidak seorangpun dari kami, aku atau Pagi yang akan memiliki Matahari.

Dengan sebilah pisau tergenggam di tangan dan diantara titik-titik kecil hujan, kususuri setiap jalan mengikuti jejak-jejak Matahari. Hati dan pikiranku sudah diselimuti oleh kabut. Membuatnya tidak lagi benar-benar jernih. Pun gemuruh amarah dalam diri sudah tidak dapat reda terhapus hujan sehari.

Kebencian telak menguasaiku.

Hari itu berkabut. Langit masih tertutup awan mendung. Matahari pasti bersembunyi di balik gumpalan awan-awan kelabu. Aku kemudian mempercepat langkahku. Kutebas satu persatu awan yang menghalangi dengan sebilah pisau yang kugenggam. Bagaimanapun akan kutemukan Matahari. Hidupnya harus berakhir di tanganku.

Tidak butuh waktu lama. Cahayanya yang berpendar itu samar-samar mulai terlihat menembus celah-celah awan yang tertebas olehku. Terendap-endah aku mengintip melalui celah-celah kecil yang ada disana. Memastikan bahwa itu benar cahaya Matahari.

Seperti ditikam dengan ujung kilatan ekor-ekor petir, aku melihat Matahari dan Pagi sedang bercumbu. Hatiku nanar bukan main. Hanya dengan sekali tebas kuakhiri hidup sang Matahari. Darahnya mengucur begitu derasnya. Membasahi hampir seluruh tubuhku. Pagi yang ketakutan menatapku dengan pandangan tak percaya. Matanya mengiba memohon belas kasih. Memohon agar tidak dibunuh juga. Lalu kubiarkan dia pergi. Kubiarkan dia menderita hidup tanpa Matahari.

Darahnya yang sedemikian banyak itu membuat langit berubah kemerahan. Awan-awan hitam sudah pergi. Kini hariku telah tiba. Kodratku sebagai sore telah kujalani. Telah kutenggelamkan Matahari. Mengantarnya sampai akhir. Membiarkan sisa-sisa jasadnya lenyap ditelan Malam.

4 comments:

  1. "Aku kemudian mempercepat langkahku. Kutebas satu persatu gumpalan awan hitam yang menghalangi dengan sebilah pisau yang kugenggam. Bagaimanapun akan kutemukan Matahari. Hidupnya harus berakhir di tanganku." bagian ini seru! :D

    ReplyDelete